Tebing Karaton Mati Suri di Tangan Tahura: Warga Merasa Jadi Tamu di Rumah Sendiri, Aktivis Desak KDM Audit Total
Jayantara-News.com – Cimenyan, Kab. Bandung
Kekecewaan mendalam disuarakan warga Kampung Ciharegem Puncak terhadap pengelolaan kawasan wisata Tebing Karaton, yang kini dinilai mati suri di bawah kendali Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan yang dulu menjadi primadona wisata alam karena panorama sunrise dan sunset-nya, kini justru memicu protes keras dari masyarakat setempat.
Seorang tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu dekade, pengelolaan Tebing Karaton tidak memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi warga sekitar. Fasilitas dasar seperti tempat parkir masih tak tersedia, dan jam operasional yang tidak menentu turut mematikan potensi ekonomi warung-warung lokal.

> “Selama 11 tahun, nol besar kontribusinya. Padahal pengunjungnya banyak. Tapi fasilitas minim, parkir tidak jelas, dan jam operasional pun asal-asalan, kadang buka jam 07.00, kadang jam 09.00, dan tutup pun cepat, sekitar jam 16.00. Harusnya ada ruang untuk warga lokal, misalnya lewat pengelolaan BUMDes atau koperasi masyarakat,” ujar tokoh tersebut kepada Jayantara-News.com, Sabtu (14/6/25).
Ia menambahkan, jadwal buka yang tercantum di Google adalah pukul 05.00 hingga 18.00 WIB, namun kenyataannya sering berubah-ubah tanpa pemberitahuan. Hal ini tidak hanya membingungkan wisatawan, tetapi juga menghambat aktivitas warga yang memanfaatkan jalur tersebut untuk mencari rumput, kayu bakar, atau sekadar melintas ke kampung tetangga.
> “Kalau memang jam ASN mulai jam 07.00, kenapa tidak diberikan akses dulu ke warga antara jam 05.00 sampai jam kerja? Begitu juga sore, antara jam 16.00 hingga 18.00. Jangan sedikit-sedikit digembok. Titip saja kuncinya ke warga sekitar. Jangan sampai kami merasa seperti tamu di rumah sendiri,” keluhnya.
Warga juga menyoroti perubahan status kelembagaan, dari Balai Pengelolaan Hutan Raya menjadi UPTD Tahura, yang justru dinilai makin memperpanjang birokrasi dan menjauh dari aspirasi masyarakat. Mereka mempertanyakan, mengapa lembaga negara yang seharusnya hadir untuk rakyat, justru meminggirkan warga lokal dari ruang hidupnya sendiri.
Kritik makin tajam ketika menyebut bahwa kegiatan bersih-bersih oleh sekitar 100 karyawan Tahura baru dilakukan setelah adanya teguran dari Sekretaris Daerah (Sekda). Ironisnya, aksi tersebut justru tidak menyentuh kawasan utama Tebing Karaton, lokasi strategis wisata yang menjadi magnet kunjungan wisatawan.
> “Mereka sibuk bersih-bersih di pusat Tahura, tapi lokasi utama yang menghasilkan malah dibiarkan terbengkalai. Itu namanya pencitraan, bukan pengelolaan,” tegasnya.
Warga pun mengusulkan pembukaan kembali jalur penghubung lama dari Kampung Ciharegem ke Barutunggul, yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Jalur ini dinilai strategis untuk memperlancar pergerakan warga dan membuka akses ekonomi baru tanpa harus bergantung pada jalur utama yang kerap dikuasai oknum tukang ojek.
> “Kami butuh solusi nyata, bukan seremonial dan birokrasi yang menyulitkan. Sudah saatnya Tebing Karaton dikelola dengan melibatkan masyarakat secara langsung, bukan hanya jadi lahan instansi,” pungkasnya.
Menanggapi keresahan tersebut, aktivis anak bangsa, Adhie Wahyudi, ikut bersuara lantang. Ia menilai persoalan Tebing Karaton bukan hanya soal pariwisata, tetapi soal ketidakadilan struktural yang telah berlangsung terlalu lama.
> “Ini bukan sekadar soal pengelolaan wisata, tapi soal keadilan akses dan hak warga atas ruang hidupnya sendiri. Ketika kawasan seindah Tebing Karaton tak memberi manfaat apa-apa bagi masyarakat lokal selama lebih dari satu dekade, itu bukan kelalaian biasa, itu bentuk pengabaian struktural yang disengaja oleh negara lewat lembaga yang diberi wewenang,” tegas Adhie.

> “Saya mendengar langsung keluhan dari tokoh masyarakat, tentang jalan tua yang ditutup, akses yang digembok, pengelolaan yang eksklusif, dan warga yang justru jadi penonton di tanahnya sendiri. Ini bentuk kolonialisme gaya baru. Bedanya, yang menjajah bukan asing, tapi birokrasi kita sendiri,” lanjutnya.
Ia pun mendesak Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) untuk segera mengambil tindakan tegas.
> “Gubernur Jawa Barat harus bertindak. Audit menyeluruh terhadap Tahura mutlak dilakukan. Jika tidak mampu memberi manfaat bagi rakyat, lebih baik pengelolaannya diserahkan ke BUMDes atau koperasi rakyat. Jangan jadikan rakyat korban dari sistem yang hanya menguntungkan elit ASN dan pejabat lingkungan,” tandasnya.
> “Wisata alam seperti Tebing Karaton seharusnya menjadi ruang tumbuh ekonomi warga, bukan zona eksklusif untuk aparat. Ini soal keadilan ekologis dan keadilan sosial yang tak bisa dipisahkan,” pungkas Adhie.
Hingga berita ini ditayangkan, Jayantara-News.com masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait, baik dari UPTD Tahura maupun instansi pemerintah Kabupaten Bandung untuk dimintai klarifikasi dan tanggapan resmi, guna memberikan keterangan atau respons terkait persoalan tersebut. (Goes)