Kontroversi Zakir Naik dan Penggunaan Rumor Kesehatan sebagai Senjata
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Media sosial kembali diramaikan dengan spekulasi terkait ulama sekaligus apologet Islam kontroversial, Dr. Zakir Naik. Sebuah unggahan viral menuduh dirinya terdiagnosis HIV/AIDS dan sedang menjalani perawatan di Malaysia. Klaim itu bersumber dari akun Facebook bernama Zion X Nova serta beberapa akun anonim lainnya, sehingga memicu perdebatan publik.
Rumor tersebut semakin ramai setelah beredarnya dokumen medis yang diduga berasal dari Pantai Hospital Kuala Lumpur. Dokumen itu menampilkan hasil tes laboratorium dan tanda tangan seorang dokter, yang menimbulkan pertanyaan tentang keaslian serta implikasi etis dari penyebarannya.
Dalam dokumen tertanggal 4 September 2025 tersebut, disebutkan hasil positif antibodi HIV 1 & 2, dikonfirmasi melalui uji Western Blot dan P24 Combo. Dokumen itu tercatat atas nama pasien Zakir Abdul Karim Naik, lahir 18 Oktober 1965, lengkap dengan interpretasi klinis serta tanda tangan seorang spesialis penyakit menular.
Namun, hingga kini tidak ada konfirmasi resmi dari pihak Pantai Hospital, otoritas kesehatan Malaysia, maupun Zakir Naik sendiri. Kuasa hukum sang ulama, Akberdin Abdul Kadir, bahkan telah menepis isu tersebut.
“Itu omong kosong. Itu berita palsu dan sama sekali tidak benar,” tegas Akberdin, seraya menambahkan bahwa Zakir Naik tidak berada di Malaysia saat isu itu beredar.
Zakir Naik juga angkat bicara melalui akun X terverifikasinya. Ia menegaskan kondisinya sehat dan meminta publik hanya mengandalkan saluran resmi untuk memperoleh informasi terkini.
Pertanyaan Etika dan Hukum
Peredaran dokumen medis pribadi menimbulkan persoalan etika serius. Menurut standar hukum dan privasi internasional, rekam medis tidak boleh dipublikasikan tanpa persetujuan pasien. Tindakan semacam itu tergolong pelanggaran kerahasiaan medis dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Pakar etika juga mengingatkan, sekalipun dokumen tersebut benar adanya, penyebaran tanpa persetujuan tetap merusak etika medis dan melanggar hak privasi. Publik didorong untuk berhati-hati, memverifikasi informasi dari sumber resmi, dan tidak ikut menyebarkan klaim yang belum terkonfirmasi.
Dugaan Kampanye Hitam
Mengingat profil publik Zakir Naik yang kontroversial, sejumlah pengamat menduga isu ini bisa jadi bagian dari kampanye hitam terkoordinasi untuk mendiskreditkan dirinya.
Di sisi lain, tak sedikit pihak menilai Zakir Naik sebagai sosok yang kerap memicu perdebatan lewat materi dakwahnya, terutama yang menyinggung keyakinan agama lain. Ia juga sedang dicari oleh otoritas India atas tuduhan pencucian uang dan ujaran kebencian, sementara sejak 2016 dirinya menetap di Malaysia dengan status penduduk tetap.
Kuasa hukumnya bahkan mengisyaratkan langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarkan informasi palsu tersebut.
Bahaya Misinformasi Kesehatan
Kasus ini menggarisbawahi tantangan besar di era digital: penyebaran misinformasi kesehatan. Rumor tentang HIV/AIDS, apalagi diarahkan kepada tokoh publik, bukan hanya menyerang reputasi pribadi, tetapi juga berisiko memperkuat stigma negatif terhadap penyakit tersebut.
HIV/AIDS masih menjadi isu sensitif dan sangat terstigma di banyak masyarakat. Penyebaran informasi palsu tidak hanya merugikan individu yang dituduh, tetapi juga berpotensi mengaburkan pemahaman publik tentang kesehatan masyarakat secara luas.
Satu hal yang pasti, kasus Zakir Naik menunjukkan bahwa rumor kesehatan dapat dijadikan senjata mematikan untuk merusak reputasi seseorang. Karena itu, media dan masyarakat perlu berhati-hati, menjaga etika, dan selalu mengedepankan fakta. (Red)
Penulis adalah lulusan Global Ethics dan Applied Ethics dari tiga universitas terkemuka di Eropa.