Antara Pelindung dan Ancaman: Mengapa Kepercayaan Publik Tergerus terhadap Polisi?
Jayantara-News.com, Jabar
Polisi seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan melindungi masyarakat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang mengkhawatirkan: banyak warga justru merasa cemas atau takut saat berhadapan dengan aparat penegak hukum. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar pada pengalaman historis, sosial, serta berbagai insiden yang mencoreng citra kepolisian.
Penyalahgunaan Wewenang: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh
Pengamat kebijakan publik, Agus Chepy Kurniadi, menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang menimbulkan ketidakpercayaan publik adalah penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi.
“Kasus-kasus kekerasan berlebihan, pungutan liar, serta tindakan represif terhadap warga sipil telah menciptakan stigma bahwa polisi lebih sering bertindak sebagai alat penindas daripada pelindung,” ujarnya dalam diskusi bersama tokoh masyarakat.
Ketimpangan dalam penerapan hukum juga menjadi pemicu utama. “Ketika hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, masyarakat akan merasa tidak ada keadilan. Ini yang membuat kepercayaan publik terhadap polisi terus menurun,” tambahnya.
Selain itu, Agus Chepy menyoroti budaya birokrasi yang kaku dan kurangnya transparansi dalam penyelesaian kasus. Banyak warga merasa laporannya tidak ditindaklanjuti dengan serius atau bahkan mengalami intimidasi saat menuntut keadilan.
“Alih-alih mendapatkan perlindungan, mereka justru takut menjadi korban dari sistem yang korup,” tegasnya.
Citra negatif kepolisian semakin diperburuk oleh berbagai pengalaman buruk yang menyebar, baik melalui media maupun cerita masyarakat. “Ketika lebih banyak kabar buruk tentang polisi dibanding kisah-kisah baik, maka rasa takut semakin tumbuh. Sayangnya, polisi yang bekerja dengan integritas sering kalah oleh stigma negatif ini,” kata Agus.
Tilang dan Uang: Polisi Identik dengan Duit?
Fenomena lain yang turut membentuk persepsi masyarakat terhadap polisi adalah tilang di jalan raya.
“Kenapa pengendara sering kali gemetar saat melihat polisi lalu lintas, terutama saat ada razia? Karena mereka khawatir tak punya uang. Tapi jika mereka punya uang, ditilang pun mereka bisa tetap tersenyum, karena di benak mereka, polisi identik dengan duit,” ungkap Agus.
Meskipun citra kepolisian telah tercoreng di mata sebagian masyarakat, harapan untuk perubahan tetap ada. Reformasi di tubuh kepolisian, pengawasan ketat terhadap penyalahgunaan wewenang, serta pendekatan yang lebih humanis kepada masyarakat adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Polisi bukanlah musuh rakyat—mereka seharusnya menjadi sahabat masyarakat. Namun, untuk mencapai itu, diperlukan perubahan nyata, bukan sekadar janji manis. Jika polisi ingin dihormati, mereka harus benar-benar mengabdi, bukan hanya menuntut loyalitas dari rakyat yang semakin skeptis. (Sheno)