Ironi Pendidikan Jabar: Gubernur Sibuk Pencitraan, Siswa Miskin Tetap Terbuang
Jayantara-News.com, Bandung
Masa pendaftaran SPMB tingkat SMA/SMK/SLB 2025 memang sudah rampung. Namun, bukan berarti persoalan ikut berakhir. Justru masih menyisakan sejuta masalah yang berpotensi menjadi bara panjang, khususnya di Jawa Barat.
LBP2 Jawa Barat mencatat sejumlah temuan mencolok. Ironisnya, ini terjadi di bawah kepemimpinan seorang Gubernur Jawa Barat yang di media sosial kerap tampil turun ke bawah, merangkul rakyat, dan menerima langsung keluhan masyarakat. Tapi sayang, citra ini justru tampak kontras dengan kenyataan pahit yang dirasakan orang tua siswa. Sebab para bawahan sang Gubernur, mulai dari Kadisdik, KCD, hingga Kepala Sekolah, seakan bergerak di jalur berbeda. Mereka yang semestinya menjadi pengayom, malah memperlihatkan wajah birokrasi yang dingin dan berjarak.
Ada kebijakan ‘seksi’ memang, semisal penambahan kuota khusus bagi masyarakat miskin yang digaungkan KDM, dengan slogan “rakyat miskin harus bisa sekolah di negeri.” Tapi realitanya? Masih banyak siswa miskin yang terdepak, gagal masuk sekolah negeri. Padahal jelas, sekolah negeri lebih ringan di kantong, baik di awal pendaftaran maupun selama proses pendidikan hingga kelulusan. Itulah yang membuat para orang tua berjuang mati-matian agar anaknya bisa diterima di sana.
Sayangnya, perjuangan mereka sering kali harus menabrak tembok tebal. Para orang tua mendapati betapa sulitnya menemui Kepala Sekolah, Ketua Panitia, atau bahkan sekadar Panitia SPMB di sekolah. Baik secara langsung maupun lewat telepon, mereka terkesan nyumput, pura-pura tidak tahu, sengaja menghindar. Seolah-olah rakyat miskin ini masalah yang harus dijauhi.
Fenomena ini menjadi barometer betapa sebagian pejabat pendidikan kita kehilangan rasa malu, etika, dan jiwa pengabdian. Ada yang merasa jumawa, tinggi hati, memandang rakyat kecil dengan sebelah mata. Seolah lupa bahwa tugas mereka adalah melayani, bukan dilayani.
Paling tidak, ada tiga penyakit utama yang menjangkiti:
1. Rendahnya kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat.
2. Mental & etika yang tak lagi selaras dengan adat masyarakat Sunda yang mengedepankan rasa hormat dan empati.
3. Rasa jumawa dengan standar ganda: “Siapa kamu?” versus “Aku siapa?”
Sudah saatnya para Kepala Sekolah, Kadisdik, dan KCD diingatkan kembali pada prinsip “rasa jeung rumasa”, merasa diri sebagai pelayan masyarakat, dan sadar bahwa jabatan hanyalah amanah.
Untuk itu, Gubernur Jawa Barat patut mengevaluasi. Tak hanya cukup dengan menebar pencitraan di medsos, tetapi juga menindak tegas bawahan yang melenceng. Misalnya dengan sanksi pembinaan khusus, bahkan program pembinaan karakter layaknya ‘barak’ bagi siswa bermasalah, agar tumbuh rasa tanggung jawab, kepedulian, dan cinta terhadap tugas pelayanan publik.
Karena kalau tidak, jargon “sekolah negeri untuk rakyat miskin” hanya akan terdengar bagai ilusi di tengah realitas getir yang dialami anak-anak miskin di Jawa Barat. (Asep)