APH dan Pemda Dinilai Mandul! Diduga Tanpa Izin, Galian C Ilegal di Pangandaran Terus Beroperasi
Jayantara-News.com, Pangandaran
Aktivitas penambangan batu kapur (limestone) diduga ilegal di Kecamatan Kalipucang dan Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, terus berlangsung tanpa tindakan hukum yang tegas. Sejumlah tambang yang diduga milik Us di Desa Banjarharja, An di Desa Cibuluh, Wrt di Desa Putrapinggan, dan BM di Desa Paledah tetap beroperasi meski tidak mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun izin produksi, sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ironisnya, meskipun telah beberapa kali disidak oleh Polda Jawa Barat, tambang ilegal ini tetap berjalan tanpa tindakan tegas yang berkelanjutan. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran dari dinas terkait dan Aparat Penegak Hukum (APH), yang seharusnya menegakkan Pasal 158 UU Minerba. Dalam pasal tersebut, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Saat dikonfirmasi Jayantara-News.com pada Kamis (3/4/2025), Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Pangandaran, Sarlan, S.IP., mengungkapkan bahwa dari 28 perusahaan galian, hanya satu yang memiliki izin resmi.
“Semua ada 28 perusahaan. Namun yang berizin cuma satu,” ujarnya.
Sebagai informasi, Bapenda berperan dalam pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dari aktivitas pertambangan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu, instansi ini berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memastikan seluruh izin dan regulasi terpenuhi.
DLHK: Kewenangan Ada di Pusat dan Provinsi
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Pangandaran, Dedi Surachman, S.Sos., M.M., menegaskan bahwa pihaknya memiliki kewenangan dalam pengawasan dan penegakan aturan lingkungan terhadap tambang ilegal. Namun, ia menjelaskan bahwa izin pertambangan berada di tangan pemerintah pusat dan provinsi.
“Untuk kegiatan usaha pertambangan, kewenangan izinnya ada di pusat/provinsi. Sesuai dengan kewenangan tersebut, pengawasannya juga menjadi tanggung jawab pusat/provinsi,” ungkapnya.
Ia menambahkan, jika ada pengaduan terkait kerusakan lingkungan akibat pertambangan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
Aktivis Lingkungan: Harus Ada Penegakan Hukum!
Adhi Wahyudi, selaku Aktivis Peduli Lingkungan Jawa Barat, mengungkapkan bahwa lemahnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal ini berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti longsor, pencemaran air, dan hilangnya sumber air bersih.

“Terlebih jika lokasi pertambangan masuk dalam kawasan lindung, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang aktivitas pertambangan di zona konservasi dan resapan air,” katanya.
Menurutnya, Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, yang dikenal tegas dalam menindak pelanggaran lingkungan, harus segera turun tangan.
“Pemprov Jawa Barat dan Kementerian ESDM harus mengambil langkah konkret untuk menghentikan praktik ilegal ini dan menindak para pelaku sesuai hukum yang berlaku!” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan lambannya tindakan pemerintah dan aparat hukum.
“Jika tidak ada tindakan nyata, maka publik berhak bertanya: Apakah ada oknum yang melindungi bisnis ilegal ini? Ataukah hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas?” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Tim Investigasi Jayantara-News.com belum berhasil menghubungi sejumlah instansi terkait lain yang berwenang dalam permasalahan ini, antara lain:
1. Dinas ESDM Jawa Barat – Perizinan dan pengawasan tambang.
2. Kementerian ESDM – Regulasi pertambangan nasional.
3. Polda Jawa Barat – Penegakan hukum.
4. Pemerintah Provinsi Jawa Barat – Koordinasi dan pengawasan. (Tim Jabar)