Masjid Al Jabbar: Simbol Kebanggaan Warisan Megah atau Kuburan Utang?
Jayantara-News.com, Jabar
Pembangunan Masjid Raya Al Jabbar kini menjadi sorotan tajam setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengungkap fakta mengejutkan: proyek monumental yang digagas dan dirancang oleh mantan Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, ternyata dibiayai dengan pinjaman yang masih menyisakan utang hingga saat ini.
Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah dan kontroversi di balik pembangunan masjid ini?
Awal Mula Pembangunan
Mengutip dari situs resmi Masjid Al Jabbar, proyek ini mulai dirancang pada 2015 oleh Ridwan Kamil. Sebagai seorang arsitek, ia mengaku ingin mewujudkan wasiat ayahnya untuk terus mendesain masjid.
Pendirian masjid ini didasarkan pada tiga alasan utama:
1. Jawa Barat belum memiliki Masjid Raya tingkat provinsi.
2. Sebagai provinsi dengan populasi Muslim terbesar di Indonesia, Jawa Barat membutuhkan ikon keagamaan yang membanggakan warganya.
3. Menghadirkan arsitektur monumental yang menggabungkan seni dan fungsi.
Baca juga:
Masjid Al Jabbar, APBD Jabar Terkuras: Rp42 Miliar Setahun, Utang Masih Menumpuk
Keindahan Arsitektur vs. Beban Finansial
Masjid Al Jabbar mengusung arsitektur modern kontemporer yang dipadukan dengan aksen khas masjid Turki dan ornamen Jawa Barat. Struktur utamanya berbentuk setengah bola raksasa tanpa pemisahan antara dinding, atap, dan kubah. Masjid ini juga dikelilingi oleh danau besar yang berfungsi sebagai penampung air sekaligus memperindah refleksi bangunan.
Namun, di balik keindahan dan kemegahannya, publik kini mempertanyakan sumber dana pembangunannya. Fakta bahwa proyek ini didanai melalui pinjaman dan menyisakan utang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Apakah ini merupakan kebijakan visioner atau justru meninggalkan warisan beban finansial bagi rakyat Jawa Barat?
Di satu sisi, Masjid Al Jabbar menawarkan kemewahan dan fasilitas edukatif, termasuk museum sejarah Islam berbasis teknologi digital, taman tematik kenabian, serta plaza bundar dengan patung kaligrafi “Al Jabbar” berwarna emas.
Namun, di sisi lain, transparansi anggaran dan dampak finansial proyek ini menjadi tanda tanya besar. Siapa yang bertanggung jawab atas utang yang masih menggantung? Apakah rakyat Jawa Barat harus menanggung konsekuensi dari ambisi arsitektural ini?
Polemik ini menjadi refleksi bagi pemimpin daerah agar dalam setiap proyek monumental tidak hanya mengejar kebanggaan, tetapi juga mempertimbangkan beban ekonomi jangka panjang yang harus ditanggung oleh masyarakat. (Chepy)