“Aya Meureun”: Sandi Transaksi yang Merusak Wajah Penegakan Hukum
Jayantara-News.com, Bandung
Dari ungkapan pasrah menjadi simbol korupsi kecil yang membusuk keadilan.
Ungkapan “Aya Meureun”, yang secara harfiah berarti “Ada, Mungkin”, tengah menjadi sorotan tajam di tengah publik, terkhusus di wilayah Jawa Barat. Kalimat ini, yang awalnya terdengar seperti ekspresi pasrah, kini ditengarai telah berubah menjadi sandi transaksi dalam proses hukum, mulai dari tingkat pelaporan hingga meja sidang.
Fenomena ini bukan lagi sekadar persoalan bahasa lokal. Menurut pengamat kebijakan publik Agus Chepy Kurniadi, kalimat tersebut sarat makna dan sangat identik dengan praktik permintaan imbalan terselubung.
> “Ini bukan sekadar jawaban menggantung. Ini adalah sandi komunikasi. Ketika aparat bilang ‘Aya Meureun’, itu artinya: ‘Ada jalan, kalau ada uang’,” tegas Agus saat ditemui di Bandung, Kamis (17/4).
Dibiasakan, Dilembagakan, Dibudayakan
Dari hasil penelusuran, praktik ini berlangsung hampir sistematis. Dalam wawancara off the record dengan seorang mantan penyidik di wilayah Priangan Timur, ia mengakui bahwa ungkapan tersebut menjadi “kebiasaan lama” yang masih lestari.
> “Itu semacam kode etis di balik meja. Kalau belum ada ‘tanda terima kasih’, berkas bisa keliling meja tanpa kejelasan. Bahkan sesama aparat pun paham bahasa itu,” katanya sambil meminta namanya disamarkan.
Keadilan Dipertukarkan, Hukum Dijual
Agus menyoroti bahwa dampak dari budaya “Aya Meureun” bukan sekadar keterlambatan penanganan perkara. Lebih dalam lagi, ini adalah bentuk kompromi terhadap prinsip dasar keadilan dan supremasi hukum.
> “Ini bukan lambat karena prosedur, tapi lambat karena ditahan, menunggu ‘pelicin’. Dan ini yang paling mengkhawatirkan, karena rakyat kecil menjadi korban utama.”
Suara Akademisi: Sandi Kolusi di Balik Kerah Seragam
Pernyataan salah satu dosen hukum pidana dari salah satu universitas di Kota Bandung menambahkan, bahwa simbolisme seperti “Aya Meureun” adalah bentuk kolusi mikro yang membusuk sistem secara makro.
> “Ketika sandi-sandi informal seperti ini merajalela, artinya ada kekosongan etika dan lemahnya kontrol internal. Lama-lama publik tidak akan percaya lagi pada proses hukum,” ujarnya.
Desakan untuk Revolusi Etika dan Reformasi Lembaga
Baik Agus maupun aktivis lain di Jawa Barat sepakat, bahwa jalan keluar dari kondisi ini bukanlah sekadar rotasi jabatan atau surat edaran moral. Diperlukan reformasi struktural dengan pendekatan etika profesional dan pengawasan eksternal berbasis partisipasi publik.
> “Sudah saatnya lembaga penegak hukum diaudit secara independen, tidak hanya kinerjanya, tapi juga budayanya,” pungkas Agus Chepy Kurniadi, yang juga merupakan Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat. (Red)