RUU KUHAP Disepakati: Dari Siaran Langsung Sidang, Penghinaan Presiden lewat RJ, hingga Impunitas Advokat
Jayantara-News.com, Jakarta
Pemerintah dan DPR RI menyepakati sejumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) penting dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Kesepakatan ini dicapai dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP antara Komisi III DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM, yang digelar pada 9-10 Juli 2025 di Gedung DPR RI.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa pembahasan seluruh DIM telah rampung dalam dua hari. Total terdapat 1.676 DIM, dengan rincian 1.091 DIM tetap dan 295 DIM bersifat redaksional.
Beberapa poin penting yang disepakati meliputi:
1. Penghapusan Larangan Siaran Langsung Sidang
DPR dan pemerintah sepakat menghapus pasal yang melarang publikasi siaran langsung persidangan dalam RUU KUHAP. Ketentuan tersebut sebelumnya termuat dalam Pasal 253 Ayat (3). Habiburokhman menilai norma ini lebih tepat diatur dalam KUHP. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, juga menyetujui karena hal ini telah diatur dalam KUHP baru.
2. Penghinaan Presiden Dapat Diselesaikan Lewat Restorative Justice
Kasus penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kini dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ). Hal ini diusulkan untuk memberi ruang komunikasi yang lebih terbuka antara pengkritik dan pemerintah sebelum perkara berlanjut ke pengadilan. Menurut Edward, karena termasuk delik aduan, penerapan RJ tidak menimbulkan masalah hukum.
3. Negara Tanggung Ganti Rugi Korban Jika Pelaku Tidak Mampu
RUU KUHAP juga menegaskan negara dapat menanggung kompensasi korban ketika pelaku tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membayar ganti rugi. Kebijakan ini disebut selaras dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta menunjukkan keberpihakan negara pada korban.
4. Penguatan Impunitas Advokat
Pasal 140 Ayat (2) RUU KUHAP menegaskan advokat tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, baik di dalam maupun di luar persidangan. Rumusan ini untuk memastikan perlindungan advokat sesuai UU Advokat dan putusan Mahkamah Konstitusi.
5. Mekanisme Plea Bargain dan DPA
Kesepakatan juga mencakup pengaturan plea bargain, yakni mekanisme pengakuan bersalah untuk memperoleh keringanan hukuman, dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) khusus bagi tindak pidana korporasi. Keduanya tetap memerlukan persetujuan hakim, dengan plea bargain dibatasi pada pidana maksimal lima tahun.
6. Hapus Larangan MA Menjatuhkan Vonis Lebih Berat
Awalnya, pemerintah mengusulkan agar Mahkamah Agung tidak dapat menjatuhkan pidana lebih berat daripada putusan pengadilan tingkat pertama. Namun setelah pembahasan, DPR dan pemerintah sepakat tidak memasukkan ketentuan tersebut ke dalam RUU KUHAP.
Ketua Komisi III berharap penyelesaian perumusan RUU KUHAP dapat dilakukan secepatnya. “Kita belum bisa memberi target pasti, tetapi proses sudah berjalan. Mudah-mudahan segera rampung,” ujar Habiburokhman. (Ril/Red)