Ketika Jabatan & Kekuasaan Berganti, Tapi Bayangan ‘Mantan’ Tak Mau Pergi
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Bandung
Konon, ketika rakyat memilih pemimpin baru, harapannya adalah perubahan. Wajah baru di kursi kekuasaan seharusnya menghadirkan arah baru, gagasan baru, dan semangat baru. Tapi, harapan itu kerap menjelma menjadi fatamorgana demokrasi, terlihat nyata, tapi tak pernah bisa direngkuh.
Faktanya, di banyak daerah di negeri ini, dari pelosok desa hingga pusat istana, kursi kekuasaan masih hangat karena terus dipanaskan oleh bayangan masa lalu, oleh mantan petahana yang sejatinya belum benar-benar “pensiun”.
Dari Desa yang Masih Terjebak Dinasti Lokal
Di berbagai pelosok tanah air, kepala desa yang baru dilantik tak ubahnya sekadar operator. Suaranya terdengar di rapat, tetapi keputusannya sering kali berdering dari balik ponsel sang mantan kades. Ada pula yang tetap rutin “lapor” sebelum mengambil langkah. Mantan? Bukan. Ini lebih pantas disebut ‘kades bayangan’ yang tak terdaftar di SK pelantikan, namun nyata mencengkeram roda kebijakan.
Naik Tingkat: Ketika Bupati dan Wali Kota Menjadi Wayang
Beranjak ke tingkat kabupaten/kota, kisahnya tak jauh beda. Banyak bupati dan wali kota tampak belum benar-benar merdeka dari ‘dalang’ yang dulu duduk di kursi itu. Mereka bisa saja mantan kepala daerah, tokoh partai yang merasa berjasa, atau pengusaha yang menyuplai logistik kemenangan. Maka jangan heran, jika musyawarah perencanaan pembangunan berubah menjadi forum transaksi politik dan pemenuhan janji saat kampanye.
Gubernur Baru, Agenda Lama
Bagaimana dengan level provinsi? Tak jarang, seorang gubernur baru hanya mengganti label tanpa mengganti isi. Program warisan dibungkus ulang, sementara aparat di bawahnya gamang mengambil langkah, seolah masih menunggu instruksi dari grup WhatsApp alumni kekuasaan. Reformasi birokrasi menjadi stagnasi birokrasi karena bayangan masa lalu belum benar-benar pergi.
Istana pun Tak Luput dari Bayang-Bayang
Dan di level tertinggi, presiden sekalipun tampaknya belum sepenuhnya lepas dari pusaran “mantan”. Konstitusi memang membatasi masa jabatan, tapi tak membatasi pengaruh. Bahkan dalam penentuan menteri, arah kebijakan strategis, hingga pencalonan pemimpin masa depan, masih harus ‘menghadap’ ke figur lama yang dianggap punya saham terbesar dalam sejarah kekuasaan.
Apakah Demokrasi Kita Hanya Seremonial?
Lantas apa artinya demokrasi, jika kepemimpinan baru hanya mengganti wajah, bukan arah? Apa gunanya pemilu, jika mandat rakyat tetap dibajak oleh kekuatan tak terlihat yang mengklaim ‘hak waris kekuasaan’?
Rakyat tidak memilih boneka. Rakyat memilih pemimpin. Tapi jika pemimpin tak punya nyali untuk berdiri di atas kaki sendiri, maka sejatinya rakyat hanya dipaksa percaya bahwa perubahan sedang terjadi, padahal status quo sedang dijaga.
Harapan Itu Masih Ada… Tapi Butuh Nyali
Pemimpin yang baru seharusnya tidak hanya membawa semangat baru, tapi juga keberanian untuk membebaskan diri dari kungkungan bayang-bayang kekuasaan lama. Tanpa itu, kekuasaan hanyalah upacara formalitas, bukan amanah perubahan.
Akhirnya, sejarah akan mencatat: banyak pemimpin datang silih berganti, namun pengaruh lama tetap mengakar. Karena di negeri ini, mencopot foto mantan dari dinding kantor jauh lebih mudah… ketimbang mencabut pengaruhnya dari panggung kekuasaan.
Penulis adalah Pemimpin Umum & Penanggung Jawab Media Online Jayantara-News.com
Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat
Ketua Lembaga Bantuan Hukum, Konsultasi & Kontributor Wartawan (LBHK-Wartawan) Jawa Barat