Satu Abad Mengabdi, Abah Landoeng Veteran Dwikora Siap Kirab di Jakarta: “Penjajahan Harus Hilang, Titik!”
Jayantara-News.com, Bandung
Usia boleh menua, semangat tetap menyala. Abah Landoeng, pria kelahiran Bandung 11 Juli 1926 yang baru saja menapak usia satu abad, kembali menjadi sorotan. Veteran Pembela Kemerdekaan RI bergelar Dwikora ini bersiap mengikuti Kirab Hari Veteran Nasional (Harvetnas) 2025 di Jakarta pada Minggu, 10 Agustus 2025.
Meski lututnya sudah “leklok” (tak lagi kuat menopang langkah), Abah Landoeng tetap bertekad hadir. “Abah mah nanti kirabnya pakai kursi roda saja. Yang penting hadir, meramaikan, dan memberi semangat. Mengabdi dan berjuang untuk negara itu nggak ada pensiunnya,” ujarnya sambil mengenakan seragam veteran kebanggaannya.
Sosok serba bisa ini dikenal sebagai pensiunan guru SMPN 5 dan 2 Bandung (1956–1996), pegiat lingkungan dan kemanusiaan, pejuang anti korupsi, kolektor kendaraan VVIP KAA 1955, hingga saksi hidup berbagai babak sejarah bangsa. Ia resmi dianugerahi Tanda Kehormatan Veteran Pembela Kemerdekaan RI “Dwikora” pada 14 November 2024.
Undangan mengikuti kirab datang dari rekannya sesama pejuang, Mayjen TNI (Purn.) Iwan Sulanjana, anggota Wantimpus LVRI. “Rencananya, Kirab Harvetnas ini diikuti sekitar 500 veteran dari berbagai kategori: Trikora, Dwikora, Seroja, hingga Veteran Perdamaian. Kehadiran Abah Landoeng akan menjadi simbol semangat dari Jawa Barat,” kata Iwan.
Dukungan juga datang dari Djudju Amidjaja, Wakil Sekretaris Pemuda Panca Marga Jawa Barat, yang selama ini memberi perhatian pada Abah. Sementara di hari yang sama, LVRI Jabar juga menggelar ziarah ke TMP Cikutra, Bandung, dan pada 18 Agustus menggelar upacara di Gasibu serta drama kolosal Pertempuran Bojongkokosan di Sukabumi.
Saksi Hidup Sejarah Panjang
Nama Abah Landoeng dikenal di kalangan jurnalis dalam dan luar negeri. Adi Raksanagara, jurnalis senior Bandung, menyebutnya “mungkin satu-satunya pejuang aneka zaman, dari era Belanda, Jepang, kemerdekaan, hingga masa pembangunan, yang masih hidup dan bisa bercerita langsung.”
Pada 2024, wartawan Prancis Frederic Martel mewawancarainya soal KAA 1955. Juni 2025 lalu, TV NOS Belanda mengupas kisah getirnya sebagai Romusha (1942–1945), pengalaman yang juga tercatat dalam buku The Former Dutch Colonies, From World War Two to Independence terbitan Dutch Resistance Museum, Amsterdam. Hampir setiap Agustus, jurnalis Jepang datang untuk mendengar pandangannya.
“Kalau ditanya masih dendam sama Jepang atau Belanda? Abah jawabnya sederhana: penjajahan di muka bumi harus hilang. Titik,” tegasnya. (Harri Safiari)