Budidaya Lobster KJA Pangandaran: Prof. Yudi Nurul Ihsan Pastikan Berbasis Riset dan Ramah Lingkungan
Jayantara-News.com, Pangandaran
Menanggapi polemik rencana budidaya lobster melalui keramba jaring apung (KJA) di Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran, Prof. Yudi Nurul Ihsan, memastikan bahwa kegiatan tersebut telah berbasis riset dan tidak mengganggu keberlanjutan ekosistem laut di perairan setempat.
“Rencana ini sudah melalui kajian ilmiah. Potensi benih bening lobster (BBL) di Pangandaran sangat melimpah secara alamiah, dan ini dapat menjadi daya saing utama jika dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam,” ujar Yudi melalui sambungan telepon, Selasa (13/8/2025).
Menurut Yudi, hasil penelitian menunjukkan BBL dari perairan setempat memiliki keunggulan tertentu. Dengan kondisi alam yang mendukung, BBL sebaiknya dibudidayakan di lokasi setempat untuk menekan tingkat kematian (survival rate) akibat kanibalisme. “Bukan hanya lobster, di sana juga ada kerapu. Potensinya jelas memberi dampak ekonomi besar bagi masyarakat,” tegasnya.
Yudi juga menilai pengaturan zonasi budidaya masih memungkinkan dilakukan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kepentingan. “Wilayah perairan di sana cukup luas. Selain lobster, kerapu juga bisa dibudidayakan. Ini akan memberi manfaat ekonomi langsung bagi warga sekitar,” ujarnya.
Ia menegaskan, penataan wilayah telah diatur melalui Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) setelah melewati proses pendaftaran daring melalui sistem Online Single Submission (OSS), verifikasi administrasi, serta penilaian teknis bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat. Lokasi KJA lobster juga sesuai Perda Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, yang menempatkan area budidaya di Zona Pemanfaatan Terbatas Kawasan Konservasi Taman Pesisir Pangandaran.
“Setelah mendapatkan PKKPRL, pelaku usaha wajib memiliki persetujuan lingkungan serta perizinan berusaha berbasis risiko,” jelas Yudi.
Terkait isu perusakan lingkungan, Yudi menyebut hal itu tidak masuk akal jika kegiatan dijalankan sesuai kapasitas dukung (carrying capacity) dan kajian teknis. Pangandaran, menurutnya, memiliki perairan yang relatif tenang dengan kedalaman 6–7 meter, ideal untuk budidaya. Ia mengingatkan kegagalan program KJA offshore tahun 2018 yang rusak akibat gelombang besar hanya beberapa minggu setelah diresmikan Presiden Joko Widodo.
Sebagai catatan, pada 2018 KKP mencanangkan tiga lokasi KJA offshore untuk budidaya ikan kakap putih di Pangandaran, Karimunjawa, dan Sabang dengan total anggaran Rp132,451 miliar. Namun, hingga kini, keberlanjutan program tersebut tidak jelas dan sering dipertanyakan oleh masyarakat perikanan.
Secara terpisah, tokoh Pangandaran yang juga dikenal sebagai ‘Panglima Pemekaran Kabupaten Pangandaran’, Eka Santosa, menilai polemik ini harus segera diselesaikan dengan bijak. “Harapannya, semua pihak mencari titik temu. Jangan sampai energi masyarakat terkuras karena konflik yang berlarut-larut,” ujar Eka yang kini tinggal di Pasir Impun, Kabupaten Bandung.
Ia menyinggung kasus klaim sepihak tanah seluas 5 hektare di Tanjung Cemara, Desa Sukaresik, pada 2024 yang memicu keresahan warga. “Tidak boleh ada klaim sepihak atas pantai, laut, atau hutan. Mari kita kelola sumber daya alam dan manusia secara arif dan bijak,” pungkasnya. (HS/Red)