Dunia pun Turut Menyapa: Hai Pangandaran! Pesonamu Menawan, Tata Kelolamu Mengecewakan!
Jayantara-News.com, Pangandaran
Pangandaran, destinasi wisata unggulan Jawa Barat, kembali jadi sorotan publik. Sayangnya, bukan karena indahnya panorama pantai, melainkan akibat serangkaian persoalan serius yang mencoreng citra pariwisata daerah ini.
Di lapangan, pengunjung masih disuguhi wajah buram: sampah berserakan, pedagang pantai tak tertata, hingga trotoar dipenuhi meja dan kursi pedagang yang mengganggu kenyamanan wisatawan. Persoalan klasik ini seakan dibiarkan menahun tanpa solusi konkret.
Permasalahan pertama yang menonjol adalah soal penanganan sampah. Volume sampah meningkat drastis saat akhir pekan, hari raya, maupun liburan panjang. Namun, fasilitas dan sistem pengelolaannya dinilai tidak sebanding dengan lonjakan jumlah wisatawan. Kondisi ini berdampak pada kebersihan pantai dan kawasan sekitar, yang semestinya menjadi daya tarik utama wisata Pangandaran.
Kedua, penataan pedagang pantai juga masih semrawut. Banyak pedagang yang berjualan tidak sesuai dengan zonasi yang ditentukan, sehingga menimbulkan kesan kumuh dan mengurangi kenyamanan wisatawan. Kondisi ini makin diperparah dengan menjamurnya pedagang yang menggunakan trotoar sebagai tempat usaha, terutama di sepanjang Jalan Kidang Pananjung. Pedagang makanan-minuman, toko pakaian, kerajinan, hingga penyewaan motor/ATV, kerap mengokupasi trotoar dengan meja dan kursi, sehingga mengganggu pejalan kaki sekaligus mempersempit arus lalu lintas.
Ketiga, masalah parkir liar juga tidak kalah pelik. Beberapa hotel besar, bahkan hampir semua hotel di kawasan Pantai Barat, kerap memanfaatkan trotoar untuk lahan parkir, terutama saat akhir pekan, musim liburan, Lebaran, dan tahun baru. Kondisi ini bukan hanya melanggar aturan tata ruang, tetapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Masalah semakin runyam setelah mencuat skandal tiket wisata palsu yang meledak pada Juli 2025. Saat itu, 110 petugas non-ASN Disparbud Pangandaran diskors untuk pemeriksaan, dan tujuh di antaranya resmi dipecat secara tidak hormat. Namun hingga kini, proses hukum masih jalan di tempat. Polisi memang telah memanggil sejumlah saksi, tetapi publik menilai penanganannya lamban, bertele-tele, dan jauh dari transparan.
Terkait kasus ini, tidak sedikit jajaran internal yang sempat berkoar-koar lantang seolah ingin membongkar kebenaran. Namun, semua itu pada akhirnya tampak hanya sebatas kamuflase belaka. Realitanya, suara kritis itu kini terbungkam, entah karena dibungkam, memilih membungkamkan diri, atau justru ikut membungkam demi menjaga kepentingan tertentu. Kondisi inilah yang semakin mempertebal dugaan publik, bahwa ada kekuatan besar yang berusaha menutup rapat dalang sebenarnya di balik kasus tiket palsu Pangandaran.
DPRD Kabupaten Pangandaran sendiri telah mendesak agar kasus ini dibongkar hingga ke akar-akarnya, karena kuat dugaan adanya kebocoran pendapatan daerah dalam jumlah besar dari sektor wisata.
Persoalan-persoalan tersebut sejatinya berkaitan erat dengan kewenangan beberapa dinas, antara lain:
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) untuk urusan sampah,
Dinas Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Perindustrian untuk penataan pedagang,
Dinas Perhubungan (Dishub) serta Satpol PP untuk penataan parkir, trotoar, dan lalu lintas, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk pengawasan menyeluruh agar kawasan wisata tertata rapi sesuai aturan.
Dengan kondisi yang terus berulang dari tahun ke tahun, masyarakat dan wisatawan menilai bahwa kebijakan penataan kawasan wisata Pangandaran masih sebatas wacana tanpa realisasi nyata.
Kini publik menuntut jawaban: apakah Pemkab Pangandaran benar-benar serius menjaga reputasi pariwisatanya, atau justru membiarkan masalah ini menjadi noda permanen?
Karena sejatinya, Pangandaran memang indah di lautan, tapi kian buram di daratan. Pesonanya menawan, namun tata kelolanya terus mengecewakan. (Goes)