Dulu Era Majapahit yang Jaya, Kini ‘Masapahit’ yang Serba Memaksa
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Jabar
Sejarah selalu menjadi cermin bagi kehidupan masa kini. Salah satu kerajaan terbesar yang pernah berjaya di Nusantara adalah Majapahit. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kerajaan ini menjadi simbol kejayaan ekonomi, stabilitas politik, dan persatuan di Nusantara. Namun, apakah nilai-nilai kejayaan ini masih tercermin dalam kehidupan kita saat ini, atau justru berubah menjadi ironi?
Majapahit dan Kejayaannya
Majapahit dikenal sebagai salah satu kerajaan paling maju di Asia Tenggara pada abad ke-14. Kekuatannya tidak hanya terletak pada militer, tetapi juga pada diplomasi dan perdagangan. Wilayah kekuasaannya mencakup hampir seluruh Nusantara, dari Sumatra hingga Papua, bahkan meluas ke sebagian wilayah Asia Tenggara lainnya.
Salah satu kunci kemakmuran Majapahit adalah keberhasilan mereka membangun sistem perdagangan yang terintegrasi. Pelabuhan-pelabuhan di bawah kekuasaan Majapahit menjadi pusat pertemuan pedagang dari Cina, India, hingga Timur Tengah. Kekayaan dari perdagangan ini memungkinkan kerajaan menjalankan pemerintahan yang stabil, mendukung seni dan budaya, serta menjaga harmoni sosial.
Namun, kejayaan Majapahit tak hanya diukur dari kemakmuran ekonomi. Ideologi Tri Hita Karana, yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, menjadi fondasi bagi kehidupan masyarakatnya. Harmoni ini membuat Majapahit dihormati tidak hanya sebagai kekuatan politik, tetapi juga sebagai pusat peradaban.
Masapahit: Era Serba Memaksa?
Berbeda dengan kejayaan Majapahit, kondisi saat ini—yang secara sindiran disebut “Masapahit”—mencerminkan keadaan yang jauh dari ideal. Ketika dulu pemerintah kerajaan mengedepankan harmoni dan kesejahteraan, kini banyak pihak merasa pemerintah sering memaksakan kebijakan tanpa mempertimbangkan suara rakyat.
Fenomena ini terlihat dalam berbagai aspek:
1. Ekonomi yang Tidak Merata
Majapahit dahulu mampu mengelola kekayaan Nusantara untuk kepentingan bersama. Sebaliknya, di era “Masapahit,” ketimpangan ekonomi semakin lebar. Kekayaan alam Nusantara seringkali dikuasai segelintir pihak, sementara rakyat kecil justru merasakan dampak kerusakan lingkungan.
2. Kebijakan Top-Down
Kebijakan seringkali dirancang tanpa partisipasi rakyat. Banyak yang merasa terpaksa menerima aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Contohnya, pengelolaan desa yang seharusnya mandiri justru kerap diintervensi oleh kepentingan di tingkat atas.
3. Politik yang Berorientasi Kekuasaan
Jika Gajah Mada bersumpah demi persatuan Nusantara, pemimpin saat ini seringkali lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada mengutamakan kepentingan rakyat. Akibatnya, konflik politik semakin tajam, sementara persatuan bangsa terganggu.
Belajar dari Majapahit
Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai yang diterapkan Majapahit tetap relevan. Pemerintah dan masyarakat dapat belajar dari semangat kerja sama, keadilan, dan keseimbangan yang menjadi fondasi Majapahit. Persatuan dan harmoni hanya bisa tercapai jika kebijakan dibuat dengan memperhatikan suara rakyat dan kepentingan bersama.
Transformasi dari “Masapahit” yang serba memaksa menuju masyarakat yang lebih adil dan sejahtera memerlukan upaya bersama. Pemerintah harus membuka ruang partisipasi rakyat, sementara masyarakat perlu lebih aktif mengawal kebijakan. Hanya dengan cara ini, semangat kejayaan Majapahit dapat dihidupkan kembali untuk membangun Nusantara yang lebih baik. (Red)