Goro-Goro Nuswantoro: Saat Sengkuni di Singgasana, Semar di Pinggir Panggung
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Narasi Kondisi Indonesia dalam Alam Pewayangan
Indonesia hari ini ibarat sebuah lakon besar dalam dunia pewayangan. Para tokoh utama tengah memainkan peran krusial dalam menentukan arah perjalanan negeri.
Negeri ini laksana Astina, kerajaan besar yang kaya dan penuh potensi, tetapi juga menjadi medan pertarungan berbagai kepentingan. Di satu sisi, ada Pandawa—simbol kebaikan, keadilan, dan kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Namun, di sisi lain, ada Kurawa, yang dengan segala kelicikannya mempertahankan kekuasaan, sering kali dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Ekonomi kita seperti Gunung Kendalisada—tempat para pertapa mencari pencerahan, tetapi sekaligus menjadi rebutan banyak pihak. Para pemimpin bijak, ibarat Resi Bisma, berusaha menjaga keseimbangan, tetapi para oportunis seperti Sengkuni selalu mencari celah untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam politik, kita seperti tengah menghadapi Bharatayudha—perang besar yang tak terelakkan. Narasi kebaikan dan keburukan bercampur di satu panggung, sementara rakyat menjadi saksi sekaligus korban dari perebutan kekuasaan.
Namun, harapan selalu ada. Dalam setiap lakon pewayangan, Pandawa yang tersingkir selalu menemukan jalan untuk menegakkan kebenaran. Rakyat, ibarat Semar, adalah penjaga kebijaksanaan yang tak boleh diremehkan. Ketika kesabaran mereka habis, mereka bisa menjadi kekuatan yang menentukan akhir dari segala kemelut.
Kini, pertanyaannya: Siapa yang akan memimpin Indonesia menuju era keemasan? Apakah akan lahir seorang Arjuna, pemimpin cerdas dan berjiwa satria? Ataukah seorang Gatotkaca, yang kuat dan setia kepada rakyat? Atau justru kita masih terperangkap dalam siasat licik para Kurawa?
Seperti dalam wayang, setiap lakon pasti memiliki akhir. Yang tersisa hanyalah bagaimana kita menuliskan kisah kita sendiri. (Red)