Ketimpangan Keadilan Sosial: Slogan untuk Semua, Realita untuk Segelintir
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Jawa Barat
Di negeri ini, keadilan sosial kerap menjadi slogan manis yang terdengar megah, tetapi sulit dirasakan dalam kehidupan nyata. Alih-alih menjadi hak bagi seluruh rakyat, keadilan seringkali terasa lebih dekat dengan mereka yang berkantong tebal. Bukannya merata seperti nasi bungkus di acara warga, keadilan malah menyerupai santapan eksklusif restoran bintang lima—hanya untuk yang sanggup bayar.
Contoh paling mencolok terlihat di pelayanan publik, terutama di rumah sakit. Mereka yang memiliki uang lebih kerap mendapatkan “jalur khusus” untuk melewati antrean panjang. Dengan dalih “paket premium,” giliran rakyat biasa tersisih, hanya bisa menunggu sambil menahan sakit. Antrean ini seakan membelah masyarakat menjadi “kelas ekonomi” dan “kelas bisnis,” padahal tujuan semua sama: kesembuhan.
Tak hanya di rumah sakit, di jalanan pun hukum kerap kali “melunak” terhadap mereka yang bermodal. Tilang digital yang digadang-gadang canggih tak jarang bisa “menghilang” dengan nominal tertentu. Ironis, hukum yang katanya buta justru tampak memihak kepada yang mampu memberi “penglihatan.”
Bidang pendidikan juga tidak luput dari ketimpangan ini. Sekolah-sekolah unggulan yang mengusung slogan “untuk semua anak bangsa” justru lebih mudah diakses oleh mereka yang mampu membayar lebih. Apa yang dijanjikan sebagai pendidikan inklusif malah sering terasa seperti “eksklusif.”
Realita ini sudah menjadi rahasia umum yang menimbulkan ironi mendalam. Padahal, prinsip “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang tertanam dalam Pancasila seharusnya berlaku untuk semua, tanpa terkecuali. Jika keadaan terus dibiarkan seperti ini, bisa-bisa slogan tersebut berubah menjadi “keadilan sosial bagi mereka yang punya modal.”
Namun, masih ada harapan untuk memperjuangkan keadilan. Tidak hanya melalui keluhan, tetapi juga dengan keberanian untuk bersuara dan bertindak. Perjuangan ini bukan hanya tanggung jawab mereka yang kurang beruntung, tetapi juga tugas bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki keistimewaan. Sebab, sejatinya, keadilan bukan tentang berapa banyak uang yang dimiliki, melainkan tentang kesediaan untuk berbagi rasa dan peluang.
Jika masyarakat bersatu, masih ada peluang untuk mengembalikan keadilan ke pangkuan seluruh rakyat. Toh, keadilan sosial seharusnya seperti nasi bungkus—cukup untuk semua, tanpa pandang bulu. (Red)