Program ‘PIPPK’ Kota Bandung, Celah Potensi untuk Lakukan Penyimpangan
Jayantara-News.com, Kota Bandung
Apakah program PIPPK Kota Bandung yang merupakan program Wali Kota Bandung era Ridwan Kamil dapat dikatakan berhasil? Pertanyaan ini terus bergema di tengah masyarakat Kota Bandung yang mempertanyakan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penggunaan serta pengelolaan anggaran program Peningkatan Peran serta Masyarakat dalam Pembangunan di Kelurahan (PIPPK). Berbagai laporan dan dugaan penyimpangan yang mencuat di lapangan menjadi alasan utama munculnya keraguan dari sebagian warga.
Diketahui: PIPPK adalah program inovatif yang pertama kali dicetuskan pada tahun 2015 oleh Wali Kota Bandung saat itu, Ridwan Kamil. Program ini dirancang untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berbasis kelurahan. Setiap kelurahan diberikan anggaran langsung untuk melaksanakan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lingkungan.
Menyikapi aduan sebagian warga Kota Bandung, Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, turut angkat bicara mengenai persoalan ini. Ia menyatakan pentingnya evaluasi mendalam terhadap implementasi program PIPPK untuk memastikan, bahwa dana yang dikelola benar-benar dialokasikan sesuai dengan tujuan utamanya, yakni pemberdayaan masyarakat dan pembangunan di tingkat kelurahan.
“PIPPK adalah program yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Namun, jika tidak ada pengawasan yang ketat dan transparansi, program ini justru berpotensi menjadi celah untuk penyimpangan,” ungkap Agus Chepy.
Menurut Agus, salah satu akar masalah dari dugaan penyimpangan adalah kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan program ini. Ia menambahkan, bahwa pemerintah Kota Bandung perlu membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mendengar langsung keluhan dan masukan mereka. Hal ini penting agar program ini bisa kembali ke jalurnya sesuai visi awal.
Di sisi lain, beberapa warga mengungkapkan kekhawatiran bahwa program ini hanya menjadi formalitas tanpa dampak nyata di masyarakat. “Ada beberapa kegiatan yang terlihat hanya sekadar menghabiskan anggaran tanpa manfaat langsung untuk warga,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Menanggapi hal ini, Agus Chepy mendesak pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengaudit pelaksanaan program PIPPK di setiap kelurahan. “Audit dan evaluasi yang transparan akan menjadi langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat,” tegasnya.
Keberhasilan program PIPPK sejatinya tidak hanya diukur dari berapa banyak dana yang terserap, tetapi dari seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Jika benar terdapat penyimpangan, maka sudah seharusnya ada langkah tegas dari pihak terkait untuk memperbaikinya.
Kesimpulan dari menjawab pertanyaan ; Apakah PIPPK Kota Bandung berhasil dan sesuai peruntukkannya? Jawabannya tentu akan sangat bergantung pada keberanian semua pihak untuk membuka fakta, melakukan evaluasi menyeluruh, dan memperbaiki hal-hal yang selama ini menjadi sorotan publik. (Red)