Kepala Babi, Skandal, dan Sandiwara Politik!
Oleh: Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Kata babi kini menjadi primadona di jagat media. Seolah lupa pada isu besar lain, publik terjebak dalam pusaran perdebatan gara-gara satu kepala babi yang dikirim ke Redaksi Tempo. Politisi menyebutnya “media darling,” artis bilang “babi lagi naik daun.”
Misteri paket tanpa identitas ini memicu pertanyaan liar: Apa pesan di balik pengiriman kepala babi? Siapa dalangnya? Mengapa Tempo jadi sasaran? Pertanyaan demi pertanyaan berhamburan, tapi jawaban masih mengawang.
Namun, sebelum larut dalam konspirasi, mari melihat kepala babi dari sudut pandang lain. Di berbagai belahan dunia, kepala babi punya makna beragam—dari simbol kemakmuran hingga pertanda buruk.
Di Jerman dan Austria, kepala babi melambangkan keberuntungan, disajikan pada malam tahun baru sebagai harapan akan kemakmuran. Begitu pula di Bali, di mana babi menjadi bagian penting dalam ritual keagamaan. Sebaliknya, di China dan Vietnam, kepala babi justru dianggap membawa sial. Bahkan, dalam narasi otoritas China, babi pernah dituding sebagai biang keladi wabah Covid-19.
Di Indonesia, tafsir kepala babi juga beragam. Di Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, babi adalah makanan mewah yang melengkapi pesta. Sementara di Jawa dan Sumatera, babi dikutuk sebagai hewan haram.
Lantas, bagaimana dengan kepala babi yang mendarat di Tempo? Hasan Hasbi punya usulan nyeleneh: “Yaa sudah, dimasak saja!” Sontak, ide ini mengundang gelak tawa, sekaligus sinisme. Jika memang tak ada maksud jahat, kenapa tidak sekalian kirim hasil masakan itu ke istana untuk buka puasa?
Di tengah pusaran politik yang sarat sandiwara, kepala babi ini justru mengingatkan kita akan satu hal: di negeri ini, absurditas bisa datang dalam bentuk apa saja—bahkan seekor babi! (Red)
(Penulis adalah peminat kiriman paket kepala babi)