Pemerintah Tanpa Kritik Kehilangan Arah: Kritik Bukan Ancaman, Tapi Napas Demokrasi
Oleh: Adipati
(Pemerhati Sosial & Demokrasi)
Jayantara-News.com –
Pemerintah yang sehat bukanlah yang haus pujian, melainkan yang siap mendengar suara rakyat—termasuk kritik yang paling pedas sekalipun. Kritik adalah wujud kepedulian, bukan permusuhan. Ia lahir dari harapan agar jalannya pemerintahan tetap lurus, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir elite.
Jika kritik dianggap sebagai ancaman, maka yang tumbuh bukanlah kemajuan, melainkan ketakutan. Pemerintah pun berubah menjadi menara gading: tinggi, tapi terasing dari realitas sosial. Sebaliknya, ketika kritik diterima sebagai vitamin demokrasi, maka setiap masukan—meski tajam dan keras—bisa menjadi energi perubahan.
Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang besar tumbuh dari kemampuan bercermin dan berbenah. Jepang pasca-Perang Dunia II bangkit melalui evaluasi tanpa henti. Negara-negara Skandinavia menjadikan transparansi dan keterbukaan terhadap kritik sebagai fondasi utama pembangunan.
Indonesia pun memiliki banyak pengkritik yang cinta negeri. Mereka bukan pembenci, bukan pula oposisi yang asal menentang. Mereka adalah alarm yang berbunyi saat penguasa mulai kehilangan arah. Kritik bukanlah suara sumbang yang harus dibungkam, karena dalam diam rakyat, justru bencana bisa datang.
Pemerintah tanpa kritik ibarat kapal tanpa kompas—mungkin tetap berlayar, tapi kehilangan tujuan. Dalam jangka panjang, hanya pemimpin yang berani dikritik dan mau berubah yang akan bertahan dan benar-benar dicintai rakyatnya.
Menjaga ruang kritik tetap terbuka adalah tanggung jawab bersama. Bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk memperbaiki. Rakyat berhak bersuara; pemerintah wajib mendengar. Dari dialog inilah demokrasi tumbuh subur dan bermartabat.
Negara akan maju jika ada keberanian untuk terbuka, bercermin dari kesalahan, dan tidak alergi pada suara yang berbeda. Karena dari kritik yang jujur, lahir solusi yang nyata. (Red)