Soal Ijazah Jokowi: Mengapa Tak Pernah Tuntas? Ada Apa di Balik Strategi Diam Istana?
Isu yang seharusnya mudah dibuktikan justru dibiarkan membusuk di ruang publik. Apakah ini bentuk siasat politik atau ketakutan menghadapi kebenaran?
Jayantara-News.com, Jakarta
Di tengah riuh rendah politik nasional, isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo tak kunjung reda. Alih-alih diluruskan melalui jalur resmi, isu ini justru terus digoreng di ruang publik. Publik pun bertanya-tanya: mengapa Istana bersikap diam, padahal ini persoalan yang bisa diselesaikan hanya dalam hitungan hari?
Menurut Agus Chepy Kurniadi, pengamat kebijakan publik, strategi diam yang dipilih Istana justru menciptakan ruang spekulasi liar. “Kalau memang ijazahnya asli, tunjukkan. Rakyat tidak butuh narasi pembelaan, rakyat butuh fakta otentik. Justru dengan terus membiarkan isu ini hidup tanpa klarifikasi tuntas, kredibilitas pemimpin dipertaruhkan,” tegas Agus.
Ia menilai, strategi diam ini berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan. “Jangan sampai negara ini membiasakan sikap abai terhadap verifikasi kebenaran hanya karena menyangkut penguasa. Semua warga negara, termasuk presiden, harus tunduk pada prinsip transparansi,” tambahnya.
Di sisi lain, dugaan muncul bahwa strategi ini adalah bagian dari siasat politik jangka panjang. Beberapa analis menyebut, isu ini sengaja dibiarkan bergulir untuk mengukur peta kekuatan oposisi, mengalihkan perhatian publik dari isu besar lain, atau bahkan sebagai permainan “gas-rem” opini untuk menjaga tensi politik tetap terkendali.
Namun publik bukan bodoh. Sidang perdata yang sempat digelar di PN Jakarta Pusat justru memperlihatkan upaya penghindaran dari pihak kuasa hukum Jokowi dengan alasan formal. “Kalau tidak salah, mengapa tidak dibuktikan di ruang pengadilan? Bukankah ini saatnya membungkam hoaks dengan fakta?” kata Agus Chepy dengan nada heran.
Menurutnya, persoalan ini tidak bisa terus didiamkan. Rakyat butuh kejelasan, bukan pengalihan. Butuh bukti, bukan pembelaan tanpa dasar. Butuh transparansi, bukan drama politik.
“Jika kebenaran ditutupi oleh kekuasaan, maka kita sedang menciptakan sistem yang memelihara kebohongan sebagai budaya,” tutupnya tajam. (Red)