Biaya PTSL untuk Ngopi! Warga Cipinang Majalengka Dipalak 200 Ribu, Kades dan RT Lempar Tangan!
Jayantara-News.com, Majalengka
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Kementerian ATR/BPN semestinya menjadi angin segar bagi rakyat kecil untuk memperoleh sertifikat tanah secara gratis. Namun, lain cerita di Desa Cipinang, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Di sana, warga justru dipungut biaya Rp200.000 plus 2 materai, dengan dalih salah satunya “untuk ngopi-ngopi”.
Padahal, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri:
1. Menteri ATR/BPN
2. Menteri Dalam Negeri
3. Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi
Nomor 25/SKB/V/2017, 590-3167A Tahun 2017, dan 34 Tahun 2017,
telah ditegaskan bahwa biaya maksimal PTSL di wilayah Jawa dan Bali hanyalah Rp150.000 per bidang tanah.
Biaya ini mencakup:
– Pengadaan dan pemasangan tanda batas (patok),
– Penyiapan dokumen administrasi,
– Operasional petugas kelurahan atau desa.
Sementara itu, semua proses inti seperti penyuluhan, pengukuran, pengumpulan data, verifikasi, hingga penerbitan sertifikat tanah ditanggung oleh negara alias GRATIS.
Namun, apa yang terjadi di Cipinang justru bertolak belakang. Berdasarkan investigasi awak media ke Blok Wage, beberapa warga mengeluh telah dipungut:
– Rp200.000 per bidang
– 2 buah materai,
yang diminta langsung oleh Ketua RT 17 berinisial Nrm.
Warga yang berharap pelayanan sesuai aturan, malah harus menerima beban biaya lebih, yang sebagian disebut-sebut untuk “ngopi-ngopi”.
“Saya dimintai Rp 200 ribu oleh RT Nrm, katanya Rp 150 ribu buat administrasi, sisanya Rp 50 ribu buat ngopi. Ditambah beli materai sendiri,” keluh seorang warga yang mengikuti program PTSL.
Ketika dikonfirmasi, RT Nrm tak membantah. “Betul, saya minta Rp 200 ribu termasuk dua materai. Yang Rp 50 ribu itu ya buat ngopi, dan ini diketahui juga oleh pak kuwu. Semua ini hasil kesepakatan,” ujarnya tanpa merasa bersalah.
Namun ketika awak media mendatangi Kepala Desa Cipinang, H. Lukman, sang kades justru menyangkal.
“Tidak, saya tidak memungut lebih dari Rp 150 ribu. Soal tambahan Rp 50 ribu, itu mungkin hasil musyawarah,” elaknya sambil buru-buru meninggalkan wartawan tanpa menjawab lebih lanjut.
Ia bahkan sempat berkata, “Udahlah, saya teu hayang loba ngomong. Tong loba nu ditanyakeun,” — seolah tak ingin bertanggung jawab.
Dengan kuota PTSL di Cipinang sebanyak 500 bidang, tambahan pungutan liar sebesar Rp 50.000 per bidang ditengarai telah mengalir hingga Rp 25 juta, belum termasuk biaya materai yang dibebankan ke warga.
Praktik seperti ini jelas mencoreng program nasional yang bertujuan mulia. Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, ini adalah pungli terang-terangan yang bisa dijerat hukum, apalagi sudah melampaui batas ketentuan resmi.
Aparat Penegak Hukum (APH) diminta turun tangan secepatnya. Jika tidak, praktik serupa akan terus menjamur dengan dalih “kesepakatan bersama” yang justru memberangus hak rakyat kecil.
Negara bilang gratis, desa bilang ngopi. Mau sampai kapan rakyat terus dipalak?! (Tim)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaraperkasa@gmail.com Terima kasih