Wartawan Dipenjara, Hukum Dibajak Mafia BBM: Ketum PPWI Bongkar Dugaan Kolusi Polres Blora
Jayantara-News.com, Jakarta
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., secara terbuka menuding Kepolisian Resor Blora, Polda Jawa Tengah, telah berkolusi dengan mafia BBM subsidi ilegal. Tuduhan ini muncul menyusul penangkapan tiga wartawan di Jawa Tengah, termasuk Denok, yang dianggap telah dijebak oleh oknum aparat melalui skenario suap terselubung demi melindungi pelaku utama: oknum anggota TNI bernama Rico, yang diduga kuat sebagai pemain utama penimbunan dan penyaluran BBM bersubsidi secara ilegal.
“Polres Blora sudah tahu bahwa Rico sedang diproses di Polisi Militer atas pelanggaran berat terhadap UU Migas, namun justru malah menjebloskan wartawan ke penjara. Ini jelas tindakan berpihak dan penuh kolusi,” tegas Wilson Lalengke kepada jejaring media nasional, Sabtu (31/5/2025).
Dalam kasus ini, ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI itu, semestinya Polres Blora memproses tindakan pemberian uang dari Rico kepada wartawan sebagai dugaan suap atau tindak pidana korupsi, bukan justru memelintirnya sebagai pemerasan sepihak oleh wartawan.
Lebih lanjut, Wilson menegaskan bahwa tindakan Rico justru berpotensi kuat melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni menghalang-halangi kerja jurnalistik. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap tindakan yang menghambat atau menghalangi kebebasan pers bisa dihukum penjara hingga 2 tahun atau denda Rp500 juta.
> “Rico telah menyuap dengan tujuan meminta berita dihapus. Ini bentuk penyensoran paksa. Itu pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers,” ujar Wilson.
Wilson juga mempertanyakan integritas Kapolres Blora, AKBP Wawan Andi Susanto. Menurutnya, dalam kasus ini terdapat tiga peraturan perundangan yang diduga dilanggar oleh Rico:
1. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
2. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,
3. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
> “Tapi yang ditangkap dan dijadikan tersangka justru wartawan yang memberitakan pelanggaran hukum. Inilah wajah penegakan hukum yang dipelintir oleh kepentingan,” tandas Wilson.
Wilson tidak menampik bahwa perilaku menerima uang dari narasumber untuk menghapus berita melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), khususnya Pasal 6 tentang independensi dan obyektivitas. Bahkan, bagi anggota PPWI, itu juga melanggar Kode Etik Pewarta Warga Poin 3. Namun, ia menegaskan bahwa pelanggaran etika harus ditangani oleh Dewan Kehormatan organisasi pers, bukan dengan kriminalisasi sepihak.
> “Ini bukan pemerasan, tapi transaksi gelap yang tidak etis. Jika wartawan diproses, maka pelaku penyuap pun harus turut diseret, karena niat jahat (mens rea)-nya jelas,” tegas Wilson.
Pesan Tajam ke Kapolri
Di akhir pernyataannya, Wilson menyampaikan harapan sekaligus kritik tajam kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar tidak menutup mata terhadap dugaan praktik jahat oknum Polres di lapangan.
> “Jangan biarkan Polri menjadi alat mafia. Sebelum masa pensiun, berikan warisan yang berarti bagi dunia pers: bersihkan institusi dari oknum korup dan berpihaklah pada kebenaran,” tutup Wilson, lulusan Etika Terapan dari Universitas Utrecht dan Linkoping University itu. (Tim/Red)