Kolaborasi Global dalam RESILIENCE 2025: Alam Jadi Kunci Ketahanan Iklim
O – Jakarta
Krisis iklim bukan lagi sekadar ancaman masa depan. Suhu global kini telah melampaui ambang batas 1,5°C, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak—mulai dari banjir, kebakaran hutan, kekeringan, hingga kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas kerja yang ditaksir mencapai Rp286 triliun pada tahun 2021 (WMO, 2022). Dalam kondisi seperti ini, solusi sektoral tidak lagi memadai. Dibutuhkan pendekatan terpadu yang menempatkan alam sebagai bagian penting dari solusi.
Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions/NbS) menjadi tema utama dalam Resilience 2025: The 3rd International Conference on Nature-based Solutions in Climate Change, yang diselenggarakan oleh Universitas Pertamina bekerja sama dengan Pertamina Foundation, Selasa (3/6/2025) di Jakarta.
Konferensi ini juga menjadi panggung bagi Universitas Pertamina untuk menunjukkan kontribusi akademik dalam isu keberlanjutan. Melalui Sustainability Center dan 12 Centers of Excellence, Universitas Pertamina aktif dalam riset energi terbarukan, konservasi ekosistem, dan pengembangan desa berkelanjutan. Selain itu, program magister keberlanjutan yang dijalankan bersama Yale University, ITB, dan NDHU Taiwan turut diperkenalkan sebagai bagian dari kolaborasi global.
Presiden Direktur Pertamina Foundation, Agus Mashud S. Asngari, dalam sambutannya menekankan bahwa tantangan iklim global menuntut solusi yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga membumi dan memberdayakan.
> “Solusi berbasis alam bukan sekadar konsep, tetapi realitas yang telah kami terapkan di lapangan. Dari penanaman mangrove, konservasi paus hiu di Teluk Cenderawasih, hingga program energi bersih di desa-desa, kami percaya bahwa keberlanjutan tidak bisa dilepaskan dari kekuatan komunitas. Melalui PFsains, kami mendorong lebih banyak inovasi hijau dari desa untuk dunia,” tandasnya.
PFsains merupakan kompetisi inovasi yang mendukung ide-ide masyarakat akar rumput berbasis NbS, dengan pendanaan hingga Rp2,5 miliar. Program ini melengkapi berbagai inisiatif keberlanjutan lainnya, seperti Hutan Lestari dan Desa Energi Berdikari Sobat Bumi, yang telah menanam lebih dari 4 juta pohon dan menjangkau 42 desa dengan akses energi terbarukan.
Rektor Universitas Pertamina, Prof. Wawan Gunawan, menutup konferensi dengan penegasan bahwa krisis iklim hanya bisa diatasi melalui kolaborasi lintas sektor dan pendekatan berbasis nilai.
> “Solusi iklim tidak bisa semata-mata bersifat teknokratis. Ia harus berakar pada keadilan, pengetahuan lokal, dan keberpihakan kepada generasi mendatang,” tegasnya. (Yuni)