PKPU Bernuansa Kepentingan: Dua Kreditor Afiliasi Dituding Mainkan Voting
Jayantara-News.com, Jakarta
Firma hukum Noviar Irianto & Partners (NIP) Law Firm menyayangkan hasil Rapat Kreditor dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dijalani klien mereka, PT Pilar Putra Mahakam.
Dalam rapat yang digelar pada Kamis, 12 Juni 2025 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh dua kreditor konkuren, yakni PT Meratus Advance Maritim dan PT Mitra Lautan Bersama, meskipun utang kepada keduanya telah dilunasi.
> “Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait itikad baik dalam proses PKPU. Bagaimana mungkin kreditor yang telah dilunasi, atau yang masih memiliki klaim yang sedang disengketakan secara hukum, tetap dihitung suaranya dan bahkan menjadi pihak yang menentukan penolakan proposal,”
ujar Noviar Irianto, S.H., dari Noviar Irianto & Partners Law Firm, kuasa hukum PT Pilar Putra Mahakam saat dihubungi media di kantornya, kawasan Jakarta Selatan.
Diketahui, tagihan PT Mitra Lautan Bersama sebesar Rp6,2 miliar telah dilunasi pada 15 April 2025, sedangkan tagihan PT Meratus Advance Maritim sebesar Rp4,37 miliar juga dilunasi keesokan harinya. Sementara itu, sisa klaim Meratus Advance Maritim sebesar Rp5,67 miliar masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya dan belum diputus.
Meski demikian, menurut Noviar, suara dari kedua kreditor tersebut tetap dihitung dalam proses voting proposal perdamaian. Ia menilai hal ini tidak selaras dengan prinsip keadilan dan bertentangan dengan semangat dasar PKPU itu sendiri.
> “Kami menduga adanya konflik kepentingan, karena kedua kreditor tersebut merupakan bagian dari Meratus Group. Artinya, mereka adalah perusahaan afiliasi atau sister company yang mungkin memiliki motif bisnis di luar hubungan hukum biasa,” imbuh Noviar.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya telah menempuh berbagai upaya hukum demi melindungi kepentingan kliennya. Permohonan pencabutan PKPU bahkan telah diajukan ke pengadilan pada 28 Mei 2025, jauh sebelum rapat kreditor digelar, sebagai bentuk keberatan atas indikasi ketidaknetralan yang muncul.
> “Kami tidak tinggal diam. Semua upaya hukum telah kami tempuh untuk memastikan proses ini berjalan adil dan tidak disalahgunakan demi kepentingan tertentu. Sayangnya, kekhawatiran kami terbukti: suara kreditor yang semestinya sudah tidak relevan tetap diperhitungkan dan justru menjadi penentu utama penolakan,” jelas Noviar.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kliennya masih dalam kondisi keuangan yang sangat sehat. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2024, total aset perusahaan mencapai Rp113,9 miliar, jumlah yang jauh lebih besar dari total klaim dalam proses ini.
Menurut Noviar, PKPU seharusnya menjadi ruang penyelamatan bagi perusahaan yang masih memiliki kemampuan membayar, bukan justru dijadikan alat untuk mendorong debitor ke jurang kepailitan.
> “Proses hukum harus dijalankan dengan integritas. Jangan sampai PKPU berubah menjadi alat tekan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi. Kami tetap percaya, pengadilan akan menilai perkara ini secara objektif,” tutupnya. (Egha/H. Widi)