Penegakan Hukum atau Pemerasan? Buruh Bangunan Diseret, Keluarga Dipaksa Bayar Rehabilitasi Rp15 Juta
Jayantara-News.com, Bandung
Penangkapan buruh bangunan bernama Aji Mirat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, memunculkan dugaan pelanggaran serius terhadap KUHAP, UU Narkotika, hingga prinsip hak asasi manusia.
Pada Rabu malam, 25 Juni 2025 sekitar pukul 20.30 WIB, Aji Mirat bersama sejumlah rekan sedang beristirahat di mes pekerja yang disediakan mandor usai bekerja seharian. Tiba-tiba, beberapa orang yang tak memperkenalkan diri secara resmi masuk ke mes, langsung menggeledah tanpa menunjukkan surat perintah, padahal Pasal 33 jo. Pasal 34 KUHAP mensyaratkan hal itu.
Tanpa diberikan kesempatan menghubungi keluarga, Aji Mirat dan beberapa temannya dibawa ke kantor Satuan Narkoba Polda Jawa Barat. Padahal hak untuk memberi tahu keluarga dijamin dalam Pasal 60 KUHAP. Setibanya di kantor Satnarkoba, mereka diperiksa dan diminta bermalam tanpa penjelasan tertulis soal status hukum maupun hak-hak mereka. Handphone mereka disita, bahkan digunakan petugas untuk menghubungi keluarga, bukan oleh Aji sendiri.
Keesokan harinya, Kamis (26/6/2025), adik ipar Aji, Pian, datang ke kantor Polda Jabar menanyakan kabar. Namun polisi hanya memberikan keterangan lisan, tanpa dokumen resmi mengenai penangkapan, status hukum, ataupun hasil pemeriksaan. Pian hanya bisa memastikan secara terbatas bahwa Aji memang ditahan di sana.
Pada Jumat, keluarga justru dihubungi seseorang bernama Fareldwiyanto yang mengaku perwakilan panti rehabilitasi:
> ULTRA ADDICTION CENTER
Jl. Raya Lembang No. 117, Gudang Kahuripan, Kec. Lembang, Kab. Bandung Barat.
Fareldwiyanto meminta keluarga hadir Sabtu, 28 Juni 2025 pukul 10.00 WIB. Dalam pertemuan itu, ia menawarkan dua opsi:
1. Rehabilitasi inap 3 bulan senilai Rp15 juta (Rp5 juta/bulan).
2. Rehabilitasi jalan Rp7 juta.
Ironisnya, saat keluarga meminta dasar hukum, hasil pemeriksaan medis, atau asesmen Satnarkoba Polda Jabar yang menjadi rujukan rehabilitasi, Fareldwiyanto hanya menjawab dokumen baru bisa diberikan setelah keluarga menyatakan sanggup membayar.
Padahal, menurut Pasal 13 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi hanya dapat dilakukan setelah ada rekomendasi hasil asesmen terpadu (TAT). Jika tidak, proses tersebut patut diduga melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur Pasal 9 jo. Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Menanggapi laporan keluarga Aji, Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, mengecam keras dugaan pelanggaran hukum ini.
> “Kami mendesak Kapolda Jawa Barat dan Propam untuk memeriksa internal. Penangkapan tanpa surat tugas, penahanan tanpa surat penetapan status tersangka, lalu pemaksaan biaya rehabilitasi sebelum ada asesmen resmi, semuanya ini berpotensi kuat melanggar KUHAP, UU Narkotika, dan prinsip HAM,” tegas Agus pada Minggu, 29 Juni 2025.
> “PPWI Jabar akan mengawal kasus ini sampai tuntas, termasuk membuka jalur komunikasi dengan Kompolnas dan Komnas HAM. Kami tidak ingin buruh kecil jadi korban kesewenang-wenangan,” tandasnya.
Agus juga mengingatkan, hukum tak boleh dijadikan alat memeras keluarga yang sedang tertekan. Penegakan hukum harus tunduk pada asas praduga tak bersalah dan dijalankan secara transparan sesuai konstitusi.
Untuk mendapatkan informasi yang berimbang, Jayantara-News.com mencoba menghubungi Fareldwiyanto melalui pesan WhatsApp-nya. Namun saat dikonfirmasi terkait kejanggalan ini, Fareldwiyanto memilih diam, bungkam tanpa klarifikasi.
Hingga berita ini ditayangkan, redaksi masih berupaya meminta konfirmasi resmi ke Sat Narkoba Polda Jawa Barat. (Tim JN)