Jalur PAPS SPMB Jabar Diduga Jadi Ajang “Bancakan”: Siswa Miskin Terpinggirkan, Titipan Melenggang!
Jayantara-News.com, Bandung
Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Jawa Barat menyoroti keras kebijakan penambahan jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui mekanisme SPMB yang belakangan diterapkan di Jawa Barat. Alih-alih menjadi solusi bagi siswa rawan melanjutkan sekolah, jalur PAPS SPMB ini justru ditengarai berubah menjadi ajang “bancakan” oleh oknum sekolah untuk kepentingan kelompok tertentu.
Fenomena memprihatinkan ini terlihat dari membengkaknya kuota rombongan belajar (rombel) yang melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan. Padahal, penambahan jalur tersebut awalnya dimaksudkan untuk membantu siswa miskin yang rawan putus sekolah. Ironisnya, banyak siswa dari keluarga tidak mampu yang namanya tercantum di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) malah tersingkir. Mereka gagal diterima meski secara ekonomi benar-benar layak dibantu.
FMPP Jawa Barat menemukan indikasi kuat bahwa siswa-siswa yang diterima melalui jalur PAPS bukanlah siswa miskin atau rawan melanjutkan pendidikan. “Yang terjadi justru sebaliknya, jalur ini diduga menjadi celah untuk siswa titipan, bahkan praktek jual beli bangku oleh oknum sekolah,” ungkap perwakilan FMPP.
Tidak hanya itu, FMPP juga mencium adanya dugaan praktik “bancakan” di balik keluarnya rekomendasi KDM (Keterangan Domisili) yang menjadi syarat jalur PAPS di sejumlah kota besar di Jawa Barat. FMPP mendesak agar jalur ini segera dikaji ulang.
“Kalau terbukti ada pelanggaran, para kepala sekolah wajib diberikan sanksi tegas. Termasuk pemerintah daerah yang membuat kebijakan tambahan jalur SPMB di luar aturan yang telah ditetapkan. Kalau tidak, dampaknya fatal, siswa yang diterima melalui jalur ilegal berpotensi tidak tercatat di Dapodik dan tak akan mendapat BOS dari pusat,” tegasnya.
Menurut FMPP, persoalan ini harus menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah agar tak asal membuat kebijakan yang berpotensi melanggar regulasi. Jika dibiarkan, hal ini akan menjadi contoh buruk dan bisa diikuti wilayah lain. Akibatnya, akses pendidikan bagi siswa miskin makin jauh dari harapan. (Asep)