Tanah Carik Terancam Dijarah! Modus Peralihan Tanah Desa Jadi Milik Pribadi Marak di Jawa Barat
Jayantara-News.com, Jawa Barat
Polemik pengelolaan tanah desa atau tanah carik kembali mencuat ke permukaan. Di berbagai daerah di Jawa Barat, muncul dugaan praktik penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat desa yang secara diam-diam menjual, menyewakan, bahkan mengubah status tanah carik menjadi milik pribadi. Ironisnya, tanah yang seharusnya menjadi aset desa dan digunakan untuk kepentingan masyarakat, justru dijadikan ladang bisnis pribadi.
Sejumlah laporan dari warga di berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat mengindikasikan modus sistematis, mulai dari penghilangan dokumen aset, pemalsuan surat tanah, hingga pengalihan hak milik yang diduga melibatkan oknum notaris dan pejabat desa.
Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, angkat suara mengenai isu ini. Ia menyebut, PPWI siap menjadi jembatan antara masyarakat dan aparat penegak hukum dalam mengawal persoalan ini hingga ke jalur hukum.
> “Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat yang memiliki bukti kuat terkait penyimpangan atas tanah carik. Silakan laporkan ke PPWI disertai dokumen atau rekaman valid. Kami akan bantu dampingi secara hukum dan publikasikan agar tidak lagi ada penyalahgunaan aset desa untuk kepentingan pribadi,” tegas Agus Chepy Kurniadi.
Tanah Carik: Aset Negara, Bukan Milik Pribadi
Sesuai ketentuan perundang-undangan, tanah carik merupakan tanah desa yang menjadi bagian dari kekayaan milik desa dan tidak dapat diperjualbelikan. Pengelolaannya diatur secara ketat, terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mempertegas bahwa:
Pasal 76 ayat (1): Aset desa tidak boleh dipindahtangankan, kecuali untuk kepentingan desa dan melalui persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta bupati/wali kota.
Pasal 76 ayat (4): Segala bentuk peralihan hak atau pemindahtanganan aset desa tanpa prosedur yang sah dapat dibatalkan.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa menegaskan bahwa tanah desa tidak dapat dialihkan kepemilikannya tanpa persetujuan berjenjang dan harus tercatat dalam Buku Inventaris Aset Desa.
Jeratan Hukum bagi Pelaku Penyelewengan Tanah Desa
Perbuatan memperjualbelikan, menyewakan, atau memindahtangankan tanah carik tanpa izin resmi dan di luar mekanisme hukum dapat dijerat pidana, antara lain:
Pasal 372 KUHP – Penggelapan:
> “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggelapkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 263 KUHP – Pemalsuan surat:
> “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, dihukum penjara paling lama enam tahun.”
Pasal 421 KUHP – Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat:
> “Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
UU Tipikor Pasal 3 – Penyalahgunaan kewenangan:
> “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan, dapat dipidana penjara paling lama 20 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.”
Agus Chepy Kurniadi menekankan pentingnya pengawasan kolektif oleh masyarakat.
> “Tanah desa itu milik rakyat, bukan milik kepala desa, sekdes, atau perangkat lainnya. Jika ada yang menyalahgunakan, harus dilawan secara hukum. Mari kita kawal bersama!” (Red)
Catatan Redaksi:
Bagi masyarakat yang menemukan indikasi penyimpangan atau kejanggalan dalam pengelolaan tanah desa, dapat melayangkan laporan aduan disertai bukti yang valid ke email: jayantaraperkasa@gmail.com
Terima kasih