Skandal Mapolda Papua Barat Daya: Markas Polisi Diduga Disulap Jadi Galangan Kapal Ilegal, DPRP dan PPWI Desak Kapolda Tegas!
Jayantara-News.com, Sorong, Papua Barat Daya
Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Papua Barat Daya menuai sorotan publik usai diduga berubah fungsi menjadi tempat perbaikan kapal alias galangan kapal ilegal tanpa izin resmi. Fakta itu terungkap dalam inspeksi mendadak Ketua Komisi I DPR Papua Barat Daya, Zed Kadokolo, bersama dua anggotanya, Petrus Nau dan Robert George Yulius Wanma, pada Jumat (22/8/2025).
Di lokasi Mapolda yang terletak di tepi pantai Distrik Tampa Garam, Kota Sorong, para legislator itu mendapati tugboat tongkang bekas tersandar di tepi markas polisi, lengkap dengan peralatan pengelasan dan bekas pengerjaan di badan kapal. Temuan tersebut menimbulkan tanda tanya besar: apakah Mapolda kini beralih fungsi menjadi galangan kapal?
> “Ini menimbulkan pertanyaan bagi kami di Dewan. Apakah Mapolda Papua Barat Daya sudah beralih fungsi menjadi galangan kapal, tempat pembuatan atau perbaikan kapal? Jika benar, sejak kapan polisi diberi kewenangan menangani urusan galangan kapal, dan apakah sudah ada izinnya?” tegas Robert Wanma, anggota DPRP Papua Barat Daya dari Utusan Masyarakat Adat Otsus, kepada wartawan di lokasi.
Sayangnya, Kapolda Papua Barat Daya Brigjen Pol Gatot Haribowo, S.I.K., M.A.P., enggan menerima rombongan DPRP. Ia hanya mendelegasikan seorang staf berpangkat bintara untuk memberikan keterangan. Rombongan DPRP kemudian melanjutkan sidak ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Sorong, dan diterima Ronald, S.E., Kepala Bidang Keselamatan Berlayar, Penjagaan, dan Patroli.
Ronald menjelaskan, setiap pemilik kapal wajib melapor ke KSOP sebelum melakukan perbaikan. “Semua aktivitas perbaikan kapal hanya boleh dilakukan di galangan resmi dengan izin operasional yang masih berlaku dan dokumen administratif lengkap,” ujarnya. Ia menambahkan, setiap kapal juga wajib memiliki Akte Gross Kapal, yang fungsinya serupa BPKB kendaraan bermotor.
Kasus ini berakar dari pengaduan masyarakat adat Saimar di Distrik Kais Darat, Kabupaten Sorong Selatan, terkait utang perusahaan PT Mitra Pembangunan Global (PT MPG). Perusahaan pemilik kapal tugboat tongkang tersebut diduga menunggak utang kepada Ketua Adat Yesaya Saimar dan komunitasnya selama lebih dari enam tahun. Sebagai kompensasi, masyarakat adat menahan kapal tongkang itu sebagai jaminan.
Pada 20 Maret 2025, mediasi di Polres Sorong Selatan menghasilkan kesepakatan: PT MPG wajib melunasi utang paling lambat 15 April 2025. Jika gagal, kapal tugboat dan tongkang otomatis diserahkan kepada masyarakat adat sebagai kompensasi. Namun, untuk alasan “pengamanan barang bukti”, kapal justru dipindahkan ke area Polairud Polda Papua Barat Daya dan diberi label status quo.
Ironisnya, setelah kesepakatan itu, muncul dugaan intimidasi aparat. Yesaya Saimar dan istrinya diduga diculik oleh oknum Polres Sorong Selatan, dibawa dengan dalih berobat, lalu disekap dan dipaksa menandatangani pembatalan kesepakatan.
“Seperti film action, kami dikejar polisi bersenjata laras panjang ketika menyelamatkan Pak Yesaya dan istrinya dari ruang penyanderaan di Mapolres Sorong Selatan,” ungkap Anis, anggota Team Cacing Tanah PPWI Papua Barat Daya, yang didampingi penasihat hukum masyarakat adat, Simor Soren.
Menanggapi polemik ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, mengecam keras dugaan penyalahgunaan wewenang aparat.
“Jika Polri hadir untuk rakyat, kenapa justru polisi menculik warga dan berpihak pada perusahaan? Anda dibayar berapa oleh Sawaludin untuk merusak hukum di negeri ini?” tulis Wilson dalam pesan WhatsApp kepada Kasatreskrim Polres Sorong Selatan, IPTU Calvin Reinaldi Simbolon.
Wilson mendesak Kapolda Papua Barat Daya segera menindak tegas bawahannya.
“Saya minta Kapolda Papua Barat Daya membersihkan anak buahnya yang berani mencemari institusi dengan menjadikan Mapolda sebagai galangan kapal ilegal. Kalau tidak mampu bersih-bersih internal, copot saja bintang di pundak itu, karena pangkat adalah amanah rakyat,” tegasnya.
Landasan Hukum
Sebagai catatan, aktivitas galangan kapal tanpa izin melanggar:
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 55–56, yang mewajibkan setiap kegiatan pembangunan dan perbaikan kapal dilakukan di galangan kapal berizin.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 1 ayat (11) dan (12), yang menjamin hak masyarakat untuk memberikan sanggahan atau koreksi atas pemberitaan.
DPRP Papua Barat Daya berencana menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan melibatkan KSOP, Kapolda, Kapolresta Sorong, perusahaan terkait, serta masyarakat adat dalam waktu dekat. (Tim/Red)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita di atas, dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaraperkasa@gmail.com. Terima kasih.