Aset Publik di Pangandaran Diduga Dimonopoli: Lemahnya Pengawasan Pemkab Jadi Sorotan!
Jayantara-News.com, Pangandaran
Di balik pesona Pantai Barat Pangandaran sebagai salah satu ikon pariwisata Jawa Barat, muncul persoalan serius terkait pengelolaan aset publik yang dibiayai dari uang rakyat.
Hasil penelusuran Jayantara-News.com menunjukkan adanya dugaan monopoli pemanfaatan sejumlah fasilitas umum di kawasan wisata, termasuk sarana penunjang seperti WC umum dan tempat bilas di sepanjang pantai. Fasilitas tersebut awalnya dibangun dengan anggaran daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran, kemudian secara administratif diserahkan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK).
Namun, di lapangan muncul indikasi bahwa pengelolaan tidak lagi berada sepenuhnya dalam kendali pemerintah daerah. Dugaan praktik penguasaan oleh pihak tertentu tanpa melalui proses dokumen dan mekanisme retribusi resmi menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset publik tersebut.
Beberapa sumber lokal menuturkan, pada musim liburan, fasilitas tersebut justru menjadi “sumber pemasukan” bagi pihak tertentu. Hal ini menimbulkan dugaan adanya kebocoran potensi pendapatan daerah, karena tidak ditemukan laporan resmi maupun setoran ke kas daerah sebagaimana mestinya.
Kondisi ini memperkuat asumsi bahwa lemahnya pengawasan pemerintah daerah memberi ruang bagi terjadinya monopoli pengelolaan fasilitas umum yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas.
Alhasil, situasi tersebut pun menimbulkan sejumlah pertanyaan:
Apakah DLHK telah menjalankan fungsi teknis sebagaimana mandat serah terima aset?
Apakah BPKD dan Inspektorat telah melakukan pengawasan secara maksimal terhadap potensi kebocoran pendapatan daerah?
Apakah DPRD Kabupaten Pangandaran telah melaksanakan fungsi pengawasan secara menyeluruh?
Apakah Satpol PP telah menjalankan tugas penegakan Peraturan Daerah secara konsisten?
Selain potensi kerugian finansial, dampak lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Fasilitas WC umum yang dibangun sesuai standar teknis, termasuk sistem pengolahan limbah, dilaporkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya akibat minimnya anggaran operasional.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan di kawasan pantai. Padahal, Pasal 65 dan 67 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang sehat, dan setiap orang berkewajiban menjaganya. Bahkan, Pasal 104 UU yang sama mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar bagi pihak yang membuang limbah tanpa izin.
Sejumlah pemerhati menilai, kasus ini merupakan bukti lemahnya tata kelola aset daerah, sekaligus peringatan bahwa Pemkab Pangandaran perlu segera mengambil langkah tegas.
Masyarakat mendesak agar pemerintah daerah melakukan:
1. Audit menyeluruh terhadap pengelolaan seluruh fasilitas umum di kawasan wisata.
2. Penertiban penguasaan aset publik oleh pihak yang tidak berwenang.
3. Pengembalian fungsi aset sesuai tujuan awal pembangunan.
4. Penegakan aturan secara konsisten oleh Satpol PP dan dinas terkait.
Kerancuan dalam pengelolaan aset publik di kawasan wisata Pangandaran bukan hanya soal keuangan daerah, tetapi juga menyangkut citra dan kepercayaan publik. Pemkab Pangandaran dituntut menunjukkan komitmennya melalui pengawasan yang kuat, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Jika pembiaran terus berlangsung, bukan hanya potensi pendapatan daerah yang hilang, tetapi juga reputasi Pangandaran sebagai destinasi wisata unggulan dapat tercoreng di mata wisatawan. (Tim JN)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaraperkasa@gmail.com. Terima kasih.