Sinergi Kesehatan Indonesia-Korea di Cipatik: Bakti Sosial Humanis yang Menyatukan Dua Bangsa
Jayantara-News.com, Bandung Barat
Desa Cipatik, Kecamatan Cihampelas, menjadi titik temu kolaborasi lintas negara antara tenaga kesehatan Indonesia dan Korea Selatan dalam sebuah kegiatan bakti sosial bermuatan kemanusiaan dan diplomasi publik. Diinisiasi oleh Yayasan KJR, kegiatan ini memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada sekitar 400 warga, sekaligus mempererat solidaritas antarbangsa melalui aksi nyata di tengah masyarakat.
Tenaga kesehatan dari dua negara terlibat langsung dalam kegiatan ini: dokter gigi lokal dan lima tenaga medis serta terapis dari Korea Selatan. Mereka melayani masyarakat dengan pendekatan menyeluruh, dari pemeriksaan tekanan darah, mata, gigi, hingga terapi tubuh berbasis teknik tradisional Korea dan alat modern.
Kades Cipatik, Asep, menyambut positif kegiatan ini. “Warga sangat antusias. Harapannya, kerja sama semacam ini bisa terus berlanjut di masa depan,” ujarnya, seraya mengucapkan terima kasih atas kontribusi nyata terhadap warganya.
Berlokasi di RW 2 Cipatik, kegiatan ini menjangkau semua lapisan usia: dari balita posyandu hingga lansia. Tak hanya layanan medis, anak-anak pun disuguhkan aktivitas edukatif seperti membuat gelang manik-manik. Suasana kian hangat dengan perayaan ulang tahun Ibu Anggra, pengawas Yayasan KJR yang sekaligus menjadi tuan rumah kegiatan.
“Biasanya acara ini digelar di Saung Lalakon. Tapi karena saya tinggal di Cipatik, saya ingin warga di sini juga merasakan manfaatnya,” tutur Anggra.
Menurut Hendra, Pembina Yayasan KJR, ini adalah kali pertama Cipatik menjadi lokasi kegiatan, meski program serupa telah menjadi agenda tahunan di tempat lain.
“Meskipun kita punya BPJS, tapi keluhan-keluhan ringan bisa langsung ditangani di sini tanpa antre panjang di rumah sakit,” jelasnya.
Kegiatan ini menjadi bentuk nyata diplomasi kesehatan komunitas, di mana pertukaran keahlian antara tenaga medis Indonesia dan Korea membuka ruang transfer ilmu dan pendekatan pelayanan yang lebih manusiawi dan efisien. Kolaborasi ini tak hanya memperkuat akses kesehatan primer di wilayah pedesaan, tetapi juga membentuk model kerja sama internasional berbasis komunitas, bukan semata institusi.
Kesuksesan awal di Cipatik dan rencana lanjutan di Saung Lalakon menjadi indikator kuat bahwa kolaborasi ini berpotensi dikembangkan menjadi program berkelanjutan. Dengan manajemen yang tepat, skema ini dapat menjadi jejaring kemitraan internasional di sektor kesehatan masyarakat.
Kegiatan ditutup dengan suasana kebersamaan: sesi foto, bernyanyi, dan bersih-bersih lingkungan yang dilakukan bersama warga dan relawan Korea. Momen ini menegaskan bahwa di balik setiap tindakan pelayanan, ada jembatan empati yang menyatukan dua budaya dalam semangat kemanusiaan.
Kolaborasi kesehatan Indonesia, Korea di Cipatik adalah contoh konkret bahwa diplomasi bisa dimulai dari akar rumput. Kesehatan, ketika didekati dengan empati dan kerja sama lintas budaya, dapat menjadi fondasi kokoh bagi hubungan internasional yang lebih bermakna, berkelanjutan, dan berdampak jangka panjang. (Nuka)