Pilkada, Jalan Persimpangan Kemajuan dan Kemunduran bagi Rakyat
Oleh: Badru Yaman (Didoe)
Jayantara-News.com, Jabar
Berapa kali kita telah melaksanakan Pilkada secara langsung?
Pertanyaan ini seringkali menggelitik pemikiran banyak orang, karena dalam terminologi politik, pemilu merupakan agenda demokrasi sekaligus sarana pembaruan ke arah yang lebih baik, termasuk Pilkada di daerah, baik di tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten.
Namun, apakah ekspektasi dan semangat Pilkada yang telah berlangsung berulang kali ini benar-benar memajukan daerah dan, lebih jauh lagi, menyejahterakan masyarakat? Ataukah sekedar menjadi ritual demokrasi lima tahunan belaka? Jawabannya kembali kepada rakyat sebagai pemilih.
Dalam hal ini, terdapat fenomena menarik. Rakyat kerap menantikan Pilkada karena adanya benefit materi berupa uang melalui praktik “serangan fajar”. Ini adalah kenyataan, di mana demokrasi saat ini dihadapkan pada pemilih yang cenderung pragmatis.
Semakin tinggi jumlah uang atau nilai sembako yang diberikan oleh kandidat, semakin besar pula peluang kandidat tersebut memenangkan Pilkada. Pada kenyataannya, kesadaran politik bagi sebagian rakyat menjadi semu. Mereka tak lagi melihat integritas, kejujuran, rekam jejak, dan kualitas kepemimpinan sebagai tolok ukur dalam memilih pemimpin.
Politik uang telah menjadi arus besar yang menggusur kesadaran rakyat atas nasib mereka sendiri dalam rentang waktu lima tahun ke depan.
Lalu, dari mana kita bisa melacak akar budaya politik uang ini?
Meskipun calon kepala daerah bisa diusung secara independen, dominasi partai politik masih lebih besar dalam konteks pengusungan kandidat. Hulunya ada pada partai politik. Namun, sudahkah partai politik menjalankan fungsinya untuk mendidik kader dan konstituen guna memiliki kesadaran politik yang mencerahkan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita lihat dari kenyataan yang ada hari ini.
Politik uang tetap menjadi momok besar yang menghambat kemajuan demokrasi dalam konteks pemilu. Bahkan, prinsip-prinsip pemilu yang jujur, bebas, dan rahasia, seringkali dikumandangkan dalam seminar atau diskusi, namun tak jarang hanya ditanggapi dengan sikap sinis. Menyedihkan, bukan?
Dalam pemilu, terdapat tiga kategori pelanggaran: etika, administratif, dan pidana. Politik uang termasuk kategori pidana pemilu. Namun, meskipun praktik ini masif, sanksi terhadap pelanggaran politik uang masih jauh dari yang diharapkan, meskipun dampaknya begitu merusak.
Seperti bait syair lagu grup Swami berjudul Kesaksian, “Orang-orang harus dibangunkan,” sangat relevan dalam konteks Pilkada serentak kali ini.
Ya, siapa pun yang memiliki kesadaran untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas demi kemajuan serta kesejahteraan rakyat harus lebih berani menyuarakan kesadaran politik dalam memilih pemimpin.
Agar momen Pilkada menjadi perayaan demokrasi yang bukan hanya menyenangkan, tetapi juga sakral dan penuh makna karena menjadi pertaruhan bagi kemajuan atau kemunduran suatu daerah, sejahtera atau tidaknya rakyat di daerah tersebut. (Red)