Mafia Tanah di Sorong: Ketika Hak Ulayat Marga Bewela Diperdagangkan dengan Dokumen Bermasalah
Jayantara-News.com, Sorong
Konflik agraria kembali mencuat di Papua Barat Daya. Di balik hamparan tanah adat di pesisir Sorong, kisah getir masyarakat adat Malamoi menunjukkan bagaimana hak ulayat kerap diperjualbelikan melalui dokumen administratif yang diduga sarat manipulasi.
Nama Marga Bewela kembali menjadi sorotan setelah Willem RN Buratehi Bewela, ahli waris dari almarhumah Robeka Bewela, secara resmi mencabut Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat yang pernah ia tandatangani pada tahun 2013.
Langkah Willem bukan sekadar administrasi. Ia menyebut bahwa pelepasan tanah adat tersebut penuh dengan “pembohongan dan pembodohan”. Menurutnya, tanah ulayat Marga Bewela telah dicatut oleh oknum mafia tanah yang menyalahgunakan ketidakpahaman masyarakat adat terhadap dokumen hukum formal.
Objek sengketa ini bukan sembarangan. Tanah seluas 82.650 meter persegi di Tanjung Kasuari (Suprauw, Distrik Maladumes, Kota Sorong) berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Tanah itu merupakan warisan adat yang bernilai strategis sekaligus ekonomis.
Pada 11 Februari 2013, muncul dua surat pelepasan tanah atas nama Willem, masing-masing seluas 82.650 m² dan 48.300 m², yang dialihkan kepada Paulus George Hung, warga negara Malaysia. Namun, Willem menegaskan dirinya tidak pernah ikut dalam pengukuran tanah dan hanya diminta tanda tangan tanpa memahami isi dokumen.
Dalam surat pencabutan pelepasan tanah tertanggal 10 Juni 2025, Willem menegaskan bahwa pelepasan tanah tahun 2013 tersebut cacat hukum, baik secara adat maupun formal.
Menurut hukum adat Malamoi, status tanah Marga Bewela sudah jelas. Pada tahun 2003, almarhumah Robeka Bewela pernah melepaskan sebagian tanah kepada Drs. Anwar Rachman, yang kemudian beralih ke tangan Labora Sitorus pada 2009. Dokumen itu sah dan diakui oleh Lembaga Masyarakat Adat Malamoi.
Dengan demikian, pelepasan tanah oleh Willem pada 2013 dianggap tidak sah secara adat. Namun, secara administratif, dokumen tersebut justru digunakan oleh Paulus George Hung alias Ting-ting Ho alias Mr. Ching untuk mengklaim tanah dan bahkan mengantongi izin reklamasi dari Wali Kota Sorong.
Pertentangan antara hukum adat dan dokumen administratif inilah yang kemudian membuka tabir dugaan praktik mafia tanah.
Willem menuding Paulus George Hung melakukan manipulasi dalam kesepakatan, pembayaran, hingga penentuan lokasi tanah. Jika terbukti, kasus ini dapat masuk ranah pidana, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen,
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dan
Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum.
Selain itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat.
Konflik ini kini bukan hanya urusan keluarga adat, melainkan menyentuh kepentingan bisnis dan politik di Sorong. Karena itu, Willem menembuskan surat pencabutan pelepasan tanahnya kepada Gubernur Papua Barat Daya, DPRD, Majelis Rakyat Papua, BPN, Wali Kota Sorong, hingga Lembaga Adat Malamoi.
Alumni PPRA-48 Lemhannas RI 2012, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA., menilai langkah Willem adalah bentuk perlawanan penting terhadap mafia tanah.
“Tanah adat tidak boleh dipermainkan oleh mafia tanah, pejabat, maupun pihak yang bersembunyi di balik dokumen administratif. Apa yang dilakukan Willem adalah isyarat perlawanan hukum dan konstitusional,” ujar Wilson, Senin (15/9/2025).
Wilson mendesak aparat penegak hukum segera mengusut dugaan manipulasi dan pemalsuan dokumen tanah adat. Menurutnya, negara wajib hadir melindungi hak ulayat masyarakat adat, sebagaimana amanat konstitusi.
“Kasus tanah adat Bewela ini bukan sekadar sengketa. Ini pertarungan antara mafia tanah dengan marwah adat serta konstitusi negara. Jika negara terus abai, maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945. Lawan mafia tanah, lindungi hak masyarakat adat!” tegasnya. (SAD/Red)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaraperkasa@gmail.com. Terima kasih.