Hakim PN Cikarang Diduga Lindungi Perzinaan, Vonis Hanya Percobaan
Jayantara-News.com, Cikarang
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cikarang menuai sorotan tajam setelah kedua terdakwa kasus perzinahan, SR dan IM, divonis 10 bulan percobaan tanpa penahanan dalam sidang terakhir pada Rabu (18/12/2024). Putusan ini diduga menunjukkan keberpihakan terhadap perbuatan perzinahan yang terbukti dilakukan oleh kedua terdakwa.
Pelapor, Irwan, mengungkapkan kekecewaannya setelah mendapatkan informasi mengenai putusan tersebut dari seorang kawannya yang merupakan pengacara di Kabupaten Bekasi. Informasi ini juga diperoleh dari percakapan via WhatsApp dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Pratiwi.
Keputusan Bertentangan dengan Fakta Hukum
Menurut KUHP, ancaman hukuman bagi pelaku perzinahan adalah maksimal 9 bulan penjara. Namun, dalam kasus ini, JPU hanya menuntut hukuman 4 bulan penjara. Meski tuntutan itu dirasa terlalu ringan, hakim ketua Majelis PN Cikarang justru menjatuhkan vonis lebih ringan, yakni 10 bulan percobaan tanpa penahanan.
“Keputusan ini menjadi tanda tanya besar. Atas dasar hukum apa Majelis Hakim memberikan vonis yang seolah meringankan kedua terdakwa, meskipun perbuatan mereka telah terbukti secara nyata?” ujar Irwan.
Dugaan Suap Menguat
Pelapor juga mencurigai adanya suap dalam proses persidangan ini. Dugaan tersebut muncul karena putusan yang dianggap tidak sebanding dengan fakta-fakta hukum yang disajikan. Kedua terdakwa diduga telah melakukan perzinahan berulang kali, bahkan saat proses hukum tengah berjalan.
SR dan IM diketahui terlibat dalam sejumlah kasus perzinahan di beberapa lokasi, termasuk di Desa Rakitan, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, hingga Cikarang, Kabupaten Bekasi. Perbuatan ini dilakukan sejak tahun 2008 dengan beberapa pria berbeda. SR bahkan dilaporkan merasa bangga dengan tindakannya tersebut.
Selain kekecewaan terhadap putusan hakim, pelapor juga menyoroti dampak perbuatan terdakwa terhadap anak-anaknya. Dua anak dari SR, masing-masing berusia 13 dan 5 tahun, kini diasuh oleh pelapor sejak September 2024. Sebelumnya, anak-anak tersebut disebutkan telah ditelantarkan oleh ibu kandungnya selama beberapa tahun.
Irwan, selaku pelapor, mendesak Mahkamah Agung untuk mengusut kembali putusan yang dianggap tidak adil ini. Ia berharap adanya transparansi dalam proses peradilan serta penegakan hukum yang berpihak kepada kebenaran.
“Saya meminta agar pihak yang berwenang mengkaji ulang putusan ini dan menindak tegas jika terbukti adanya pelanggaran hukum oleh hakim atau jaksa,” tegas Irwan.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki integritas sistem peradilan di Indonesia, terutama dalam menangani perkara yang melibatkan moralitas dan keadilan publik. (Goes)