Kasus Penembakan Pemilik Mobil Rental: Pandangan Berbeda dari Ponto dan Wilson Lalengke
Jayantara-News.com, Jakarta
Insiden penembakan yang menewaskan pemilik mobil rental oleh anggota TNI Angkatan Laut memicu gelombang perhatian publik. Peristiwa ini menyulut diskusi sengit terkait kronologi, akar masalah, hingga langkah hukum yang seharusnya diambil. Dua tokoh terkemuka, Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto dan Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menyampaikan pandangan yang saling bertolak belakang, memperkaya dinamika kasus ini.
Baca juga: Polsek Cinangka Polres Cilegon Disebut Abaikan Laporan, Korban Berujung Tewas di Tangan Pelaku!
Pandangan Laksda (Purn) Soleman B. Ponto: Bela Diri atau Premanisme?
Laksda (Purn) Ponto mengungkapkan bahwa insiden tersebut bermula dari dugaan penggelapan mobil yang mendorong pemilik rental bertindak di luar prosedur hukum dengan mengerahkan massa. “Tindakan ini melanggar hukum. Pemilik rental seharusnya melapor kepada kepolisian untuk penanganan sesuai prosedur,” tegasnya dalam pernyataan pers pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Ponto menilai anggota TNI AL yang menembak korban berada dalam situasi terdesak akibat pengeroyokan. Tindakan melepaskan tembakan dianggap sebagai upaya membela diri, sesuai Pasal 49 KUHP. Namun, ia menekankan pentingnya syarat pembelaan diri: adanya ancaman melawan hukum, tindakan proporsional, dan tujuan menghentikan serangan.
“Kasus ini menjadi pelajaran penting untuk mendorong penyelesaian konflik melalui jalur hukum, bukan kekerasan,” ujarnya.
Wilson Lalengke: Kritik Tajam terhadap Narasi Ponto
Wilson Lalengke menolak keras narasi Ponto, menuduhnya mengaburkan fakta untuk membela oknum anggota TNI. Ia menyebut pemilik mobil rental telah melapor ke Polsek Cinangka, tetapi mendapat penolakan. “Kapolsek Cinangka bahkan sudah diproses karena menolak membantu korban. Pemilik rental sudah mengambil langkah hukum yang benar, tapi kinerja polisi yang buruk membuat situasi semakin memburuk,” kritiknya.
Lalengke juga membantah klaim pengerahan massa oleh pemilik rental. Menurutnya, kerumunan terjadi spontan di lokasi kejadian. “Narasi bahwa pemilik rental sengaja mengerahkan massa adalah ngawur,” tegas alumni PPRA-48 Lemhannas RI itu.
Ia menuding anggota TNI AL terlibat dalam sindikat mafia penggelapan mobil. “Oknum TNI ini malah menodongkan pistol saat perjalanan. Bukannya memberikan tembakan peringatan, ia justru mengancam korban. Ini tindakan kriminal yang harus dihukum maksimal,” ujarnya.
Saat ini, kasus berada dalam tahap investigasi oleh kepolisian dan institusi militer. Publik menuntut transparansi dan keadilan bagi keluarga korban. Lalengke mendesak agar pengadilan militer memberikan hukuman setimpal bagi pelaku. “Jangan sampai pembunuhan terhadap warga sipil dianggap sepele. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi aparat hukum dan militer. Kejadian serupa harus dicegah melalui penegakan hukum yang adil dan profesional. Publik berharap keadilan ditegakkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. (Tim/red)