Ketika Orang Baik Memilih Diam, Kejahatan akan Terus Berulang
Oleh: Babeh Igmars Marsudien
Kejahatan itu terjadi dan berulang, bukan karena bertambahnya pelaku kejahatan itu sendiri, melainkan karena banyaknya orang baik yang hanya diam ketika melihat kedzoliman terjadi.
Diamnya orang-orang baik bukanlah sekadar tindakan pasif, tetapi sebuah bentuk persetujuan tersirat yang tanpa disadari justru memperkuat keberadaan kejahatan. Dalam banyak kasus, kejahatan tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan ruang, dukungan, dan terutama—ketidakpedulian masyarakat untuk bisa terus berkembang.
Ketika kita membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata, kita sebenarnya sedang menciptakan preseden buruk: bahwa hal yang salah bisa diterima, bahwa keburukan tidak perlu mendapat perlawanan, dan bahwa ketidakadilan bukanlah urusan kita. Padahal, kejahatan tidak mengenal batas. Jika hari ini kita merasa tidak terdampak, siapa yang bisa menjamin bahwa besok atau lusa kita bukanlah korban berikutnya?
Kebungkaman sebagai Senjata Kejahatan
Tidak sedikit kejahatan besar yang bermula dari sikap diam dan pembiaran. Korupsi, misalnya, tidak akan berkembang jika sejak awal ada perlawanan yang nyata dari masyarakat. Para koruptor bisa dengan mudah menjalankan aksinya karena mereka tahu bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih pasrah atau bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang “sudah biasa.”
Begitu juga dengan berbagai bentuk penindasan, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, ketidakadilan hukum, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Banyak korban yang tetap menderita bukan hanya karena pelaku yang kejam, tetapi juga karena lingkungan di sekitarnya lebih memilih untuk diam daripada membela mereka.
Di dunia politik, diamnya rakyat terhadap kebijakan yang merugikan hanya akan memberi kekuatan lebih bagi pemimpin yang zalim. Ketika masyarakat tidak menuntut keadilan, mereka yang berkuasa akan semakin leluasa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat. Sejarah telah menunjukkan bagaimana rezim otoriter bisa bertahan bukan hanya karena kekuatan mereka sendiri, tetapi juga karena rakyat yang memilih bungkam dalam ketakutan.
Ketika Kejahatan Menjadi Kebiasaan
Yang lebih mengkhawatirkan dari sikap diam adalah normalisasi kejahatan. Ketika sesuatu yang salah dibiarkan berulang kali terjadi tanpa ada perlawanan, maka perlahan-lahan ia akan dianggap sebagai hal yang biasa.
Awalnya, mungkin hanya ada segelintir orang yang berbuat curang. Namun, karena tidak ada yang berani menegur, tindakan itu menyebar dan akhirnya diterima sebagai “bagian dari sistem.” Begitu banyak keburukan yang kini dianggap lumrah, bukan karena mereka benar, tetapi karena terlalu banyak orang yang memilih untuk tidak menentangnya.
Lihatlah bagaimana masyarakat saat ini mulai terbiasa dengan praktik suap, nepotisme, hingga ketidakadilan hukum. Semua itu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba terjadi, melainkan hasil dari akumulasi sikap diam selama bertahun-tahun.
Dampak Jangka Panjang dari Sikap Diam
Ketika orang-orang baik terus diam, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh generasi saat ini, tetapi juga oleh generasi mendatang. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ketidakadilan dan ketidakpedulian akan mewarisi pola pikir yang sama. Mereka akan melihat bahwa melawan ketidakadilan adalah sesuatu yang sia-sia, bahwa bersuara hanya akan membawa masalah, dan bahwa diam adalah cara terbaik untuk bertahan hidup.
Akibatnya, masyarakat kehilangan jiwa kritisnya. Tidak ada lagi semangat untuk memperjuangkan kebenaran, tidak ada keberanian untuk menentang keburukan, dan tidak ada keinginan untuk membawa perubahan. Jika ini terus dibiarkan, maka kejahatan akan semakin mengakar dan menjadi bagian dari budaya yang sulit dihilangkan.
Namun, semua ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Sejarah telah membuktikan bahwa satu suara, satu tindakan, bisa menjadi pemicu bagi perubahan besar.
Gerakan-gerakan besar di dunia selalu dimulai dari sekelompok kecil orang yang berani berkata “tidak” ketika mayoritas memilih diam. Dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga gerakan hak asasi manusia, semua bermula dari keberanian individu-individu yang menolak untuk tunduk pada ketidakadilan.
Kita tidak harus menjadi pahlawan untuk bisa melawan kejahatan. Terkadang, sekadar berbicara menentang ketidakadilan di lingkungan kita sudah merupakan langkah awal yang besar. Tidak perlu menunggu orang lain bergerak lebih dulu, karena setiap tindakan kecil bisa menjadi inspirasi bagi orang lain untuk ikut bertindak.
Jika kita ingin dunia yang lebih adil, jika kita ingin masyarakat yang lebih beradab, maka diam bukanlah pilihan. Kita harus berani bersuara, berani melawan, dan berani mengambil sikap. Karena kejahatan hanya bisa menang ketika orang baik memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Sampai kapan kita akan membiarkan kebungkaman menjadi sekutu bagi pelaku kejahatan? Sudah saatnya kita bersuara, bertindak, dan menjadi bagian dari perubahan. Sebab, jika kita terus diam, maka kita tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga bagian dari sistem yang mempertahankan ketidakadilan itu sendiri. (Goes)