Takdir yang Terungkap: Ketika Ken Arok ‘Semaput’ oleh Cahaya Betis Ken Dedes
Senja merambat turun di ufuk barat, menyelimuti Tumapel dengan semburat jingga yang lembut. Angin berbisik lirih, membawa aroma bunga kenanga dari taman istana. Di antara pepohonan rindang, seorang pria berdiri tegak, matanya menatap lekat ke arah pelataran istana. Dialah Ken Arok, pemuda berjiwa api yang kerap dianggap hanya sebagai pengembara tanpa tujuan. Namun, hatinya kini bergejolak oleh bisikan takdir yang tak bisa ia abaikan.
Sejak lama, ia mendengar desas-desus tentang kecantikan Ken Dedes, permaisuri Tunggul Ametung. Mereka berkata bahwa keelokannya bukan sekadar rupa, melainkan pancaran cahaya yang hanya dimiliki perempuan pilihan dewa. Awalnya, Ken Arok menganggapnya sebagai bualan belaka. Namun, ketika ia menatap langsung sosok itu di hadapannya, hatinya seolah dihantam gelombang dahsyat yang tak terlukiskan.
Ken Dedes berdiri di antara para dayang, tertawa kecil, suaranya bagai alunan gamelan yang merdu. Angin sore memainkan helaian rambutnya yang hitam panjang, membuatnya tampak seperti bidadari yang turun ke bumi. Ken Arok menahan napas, kedua kakinya terasa lemas meski ia tetap berdiri tegap. Dan saat itulah, takdir mempermainkan dirinya.
Ken Dedes, dengan gerakan anggun, mengangkat sedikit kainnya ketika hendak menaiki undakan batu. Sekilas, betisnya yang putih bersih tersingkap, berkilau diterpa sinar mentari senja. Cahaya keemasan membelai kulitnya, memantulkan kilau lembut bak cahaya bulan di permukaan danau yang tenang.
Jantung Ken Arok seketika berdentum. Darahnya berdesir begitu cepat hingga ia kehilangan kendali atas tubuhnya. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang lebih dari sekedar keterpukauan. Ini bukan hanya keelokan seorang perempuan—ini adalah wahyu, sebuah pertanda dari langit.
“Betis yang bercahaya…” gumamnya lirih, sebelum pandangannya bergetar dan semuanya menjadi gelap.
Brukk! Ken Arok jatuh terduduk, lalu pingsan seketika.
Para prajurit dan dayang tersentak kaget. Mereka bergegas mendekat, bingung melihat seorang lelaki gagah terkapar tanpa sebab yang jelas. Beberapa di antara mereka mencoba membangunkannya, namun Ken Arok tetap tak sadarkan diri.
Ken Dedes menatap pria itu dengan kening berkerut, lalu tersenyum samar. Ia tak tahu bahwa di dalam kepala pemuda itu, berputar roda takdir yang akan mengubah sejarah. Di dalam hati Ken Arok, telah tertanam tekad yang tak akan goyah—tekad untuk merebutnya, menjadikannya miliknya, dan mengubah nasibnya dari seorang pengembara menjadi seorang raja.
Karena sejak hari itu, Ken Arok tahu: betis Ken Dedes bukan sekadar lambang kecantikan. Ia adalah pertanda bahwa perempuan itu ditakdirkan untuk mendampingi seorang penguasa besar. Dan penguasa itu, dengan segenap keberanian dan kecerdasannya, akan menjadi dirinya…” (Goes)