Terendus Bau Busuk, PJ Gubernur DKJ Diminta Hentikan Proyek RDF Rorotan Senilai Rp.1,3 Triliun
Jayantara-News.com, Jakarta

Pejabat Gubernur (PJ) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Teguh Setyabudi didesak untuk segera mencopot Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Asep Kuswara, yang diduga terlibat dalam skandal korupsi terkait proyek pembangunan RDF (Refused Derived Fuel) di Rorotan, Jakarta Utara, dengan anggaran mencapai Rp.1,3 triliun.
Permintaan tersebut disampaikan oleh Taufiq Rachman, Wakil Ketua Umum Indonesia Investigasi Korupsi (IIK), di Balaikota pada Kamis (31/10/2024). “Pak Teguh harus bertindak tegas dan cepat, jangan biarkan kasus korupsi merusak integritas Pemda Jakarta,” tegasnya.
Proyek RDF Rorotan diduga menjadi ajang bagi oknum Pemda, BUMN, dan pihak swasta untuk mengambil keuntungan secara tidak sah. Selain meminta pencopotan Asep Kuswara dan Kepala Unit Pengelolaan Sampah Terpadu (UPST), PJ Gubernur juga didesak untuk membatalkan proyek ini, karena dinilai sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme (KKN). “Jika proyek ini terus berjalan, kerugian negara akan semakin besar,” tambahnya.
Proyek RDF Rorotan, yang digarap oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dengan anggaran tahun 2024, telah menjadi sorotan sejak awal pelaksanaannya karena diduga penuh dengan praktik KKN. Proyek ini berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
– Proses Pengadaan yang Tidak Transparan –
Direktur Investigasi Indonesian Ekatalog Watch (INDECH), Hikmat Siregar, mengungkapkan, bahwa Unit Pengelolaan Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengumumkan rencana umum pengadaan proyek RDF Rorotan pada Desember 2023 dengan kode RUP 45805154, senilai Rp.1,3 triliun. Proses lelang dimulai pada 8 Desember 2023, dengan penandatanganan kontrak dilakukan pada 7 Maret 2024. Proyek ini direncanakan selesai pada akhir Desember 2024.
Pemenang lelang, PT WIJAYA KARYA (PERSERO) Tbk, memenangkan kontrak dengan penawaran sebesar Rp.1,28 triliun. Namun, PT WIJAYA KARYA diwajibkan mensubkontrakkan sebagian besar pekerjaan kepada PT Asiana Technologies Lestari (PT ATL) senilai Rp.591 miliar, atau 46% dari total kontrak. Beberapa pekerjaan utama, termasuk pengadaan alat conveyer, disubkontrakkan dengan biaya yang dinilai sangat tinggi.
Hikmat mempertanyakan keputusan ini, mengingat PT WIJAYA KARYA seharusnya mampu melaksanakan pekerjaan tersebut tanpa subkontrak. “Jika PT ATL hanya sebagai distributor, PT WIJAYA KARYA cukup membeli barang dari mereka tanpa mensubkontrakkan pekerjaan. PT WIJAYA KARYA lebih dari mampu menginstal alat-alat tersebut, mengingat pengalaman dan kapasitas SDM mereka,” ungkap Hikmat.
– Perbandingan Biaya yang Jauh Lebih Murah –
INDECH menilai ada indikasi mark-up yang besar dalam proyek RDF Rorotan. Sebagai perbandingan, PT Indopower International menawarkan RDF Plant 200 TPD (Ton Per Day) seharga Rp.22,37 miliar di e-katalog LKPP. Dengan kapasitas 2.500 ton per hari, RDF Rorotan cukup membutuhkan 13 unit RDF milik PT Indopower dengan total biaya sekitar Rp.290 miliar, jauh lebih murah dibandingkan anggaran proyek ini.
“Jika pemerintah DKI Jakarta serius ingin mengelola sampah 2.500 ton per hari, seharusnya cukup dengan membeli atau memasang RDF dari PT Indopower sebanyak 13 unit dengan total anggaran sekitar Rp.300-500 miliar,” ujar Hikmat. “Pemprov DKI jangan menganggap warga Jakarta tidak mampu menghitung.”
– Desakan Evaluasi Proyek dan Kepala Dinas –
Hikmat sependapat dengan Taufiq, bahwa PJ Gubernur Teguh Setyabudi harus segera mengambil kebijakan untuk membatalkan proyek RDF Rorotan guna menyelamatkan keuangan negara. “Proyek ini luar biasa besar anggarannya, harus segera dievaluasi, termasuk pejabat yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Kontrak proyek RDF Rorotan memperbolehkan subkontrak hingga 70%, sehingga menimbulkan indikasi adanya persekongkolan untuk mengalihkan pekerjaan kepada pihak tertentu. Sejumlah pekerjaan utama, termasuk pengadaan peralatan RDF dari enam negara (Jerman, Austria, Italia, Belanda, Korea, dan Indonesia), dengan total biaya Rp.337,82 miliar, patut diduga sarat dengan praktik persekongkolan sejak tahap penganggaran, perencanaan, hingga pelaksanaan lelang.
INDECH menyebutkan, bahwa proyek ini melanggar Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (Red)