Warga Menolak Keras Pembangunan Gereja Santo Antonius di Cipamokolan Kota Bandung
JAYANTARA NEWS, Kota Bandung
Sejumlah tokoh dan warga masyarakat yang didampingi Kuasa Hukum Prof. Anton Minardi & Partners, mendatangi kantor Lurah Cipamokolan, pada hari Jumat, 11 Oktober 2024, di Jalan Cipamokolan No.26.
Maksud kedatangan warga, yakni hendak beraudiensi dengan Lurah Tito, sebagai Lurah di Kelurahan Cipamokolan. Audiensi kali ini terjadi, karena sebelumnya sudah berkali-kali warga mempertanyakan tentang perizinan pembangunan Gereja Sang Hyang Hurip Santo Antonius di Cipamokolan tersebut, namun belum mendapat jawaban yang komprehensif. Hingga akhirnya, pembangunan pun tetap dilaksanakan.
Atas kejadian tersebut, warga bersama kuasanya mengadakan pertemuan dengan Disciptabintar, pada hari Rabu, 09 Oktober 2024, pukul 13.15 – 16.00 WIB, yang diterima oleh Sekdis Ciptabintar Rulli Subhanudin, ST., MT., beserta stafnya. Dimana dari hasil pertemuan itu, menyarankan, agar kembali merunut dari lurah, terkait dengan izin warga yang dinilai kurang memenuhi persyaratan, dan cenderung manipulatif dan tidak memenuhi prosedur.
Atas dasar hal inilah, warga kembali menemui Lurah Cipamokolan Tito, untuk mempertanyakan dan mengulang kembali penjelasan. “Bahwasannya, warga tidak pernah memberikan izin, dan menolak keras pembangunan Gereja Santo Antonius Cipamokolan – Rancasari tersebut untuk dibangun.” Penjelasan ini disampaikan oleh Asep S. Adjie, selaku jubir warga, dan didukung oleh Subagyo, selaku Sekretaris RW 01 Cipamokolan, pada saat permohonan sosialisasi perizinan tersebut diminta oleh pihak Gereja Santo Antonio.
Asep S. Adjie menjelaskan, bahwa berkas pengajuan terkait ijin pembangunan itu, tidaklah benar, dan cenderung cacat, karena dalam format permohonan yang diberikan gereja kepada warga, adalah sosialisasi, dan bukan izin pembangunan gereja, sementara RT dan RW hanya mengetahui. “Namun belakangan diketahui, bahwa seakan menjadi dasar perizinan oleh warga yang dibundel dan menjadi salah satu syarat perizinan,” ujar Asep.
Ia juga menyayangkan, kenapa Lurah Cipamokolan tidak melakukan verifikasi dan pengecekan di lapangan. Hal ini juga disampaikan kepada Camat Rancasari Hamdani, pada Rabu, 2 Oktober 2024, sebelum menemui Disciptabintar.
Di sisi lain, Camat Rancasaruyang mengatakan, bahwa verifikasi lapangan, semestinya dilakukan oleh Lurah. Hal ini tentunya menambah gamblang, bahwa penjelasan dari aparatur wilayah tidak sinergis dan terkesan serampangan.
Dari kondisi inilah, warga pun semakin menguatkan diri untuk membangun kesolidan dan memverifikasi sendiri, yang berkesimpulan, bahwa pembangunan Gereja Santo Antonius tersebut terlalu dipaksakan. Adanya izin warga pun cenderung dimanipulasi dari awal. Sementara, Lurah dan Camat kurang tanggap dan cenderung memihak kepada kepentingan pembangunan Gereja Santo Antonius.
Penolakan warga, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui spanduk, cenderung diabaikan. Maka, atas dasar hal yang tersebut, warga akan terus memperjuangkan sampai pembangunan Gereja Santo Antonius Cipamokolan Rancasari diberhentikan dan dicabut izinnya. Hal ini semata-mata, karena prosedur yang ditempuh sudah menyalahi aturan dan kurang baik, karena ada kandungan manipulasi dari sisi pengguna gereja maupun perizinan, baik kepada masyarakat, RT, RW maupun dinas terkait lainnya.
Hal senada juga disampaikan Subagyo, selaku Sekretaris RW 01 Cipamokolan. “Saya sebagai pengurus tidak pernah diminta persetujuan dan konfirmasi dari pihak Gereja Santo Antonius, dan kami merasa diabaikan. Kami belum pernah difasilitasi secara baik untuk komunikasi dengan pihak gereja, sampai hari ini, sementara pembangunan terus berjalan. “Surat penolakan dari 12 RW, beberapa DKM, dan berbagai tokoh masyarakat, pun pernah dibuat pada 15 Desember 2023, namun sama, tidak digubris, baik oleh Lurah maupun Camat.
Perwakilan warga Cipamokolan pun merasa kecewa dengan hasil pertemuan tersebut, karena jawaban Lurah Cipamokolan Tito kurang memuaskan dan tidak bisa memberikan jalan keluar pada saat itu. Cenderung mengulur waktu dan melempar kepada jenjang yang lebih tinggi. Padahal warga sudah bolak balik dari bawah ke atas, dari atas ke bawah lagi, terkesan ada yang ditutupi.
Prof. Anton Minardi menilai, bahwa pembangunan Gereja Santo Antonio ini cenderung cacat prosedur, cacat administrasi, tidak adanya sosialisasi kepada warga terdekat, tokoh masyarakat. Adapun, terkait dukungan dari warga, justru cenderung diiming-imingi, terindikasi adanya pemalsuan tanda tangan, manipulasi dalam penyampaian terkait perizinan, tidak ada dengar pendapat dengan masyarakat. “Bahkan, sampai terbitnya PBG pun, masyarakat kurang mengetahuinya, bahkan cenderung ditutup-tutupi,” ungkapnya.
“Pemberi izin tidak memiliki legal standing untuk mengeluarkan PBG, cacat prosedur dan cacat substansi, hingga perizinan harus segera dicabut!” tegas Prof. Anton Minardi. (_@asepkw_)