Brutal, Bodoh, dan Overacting! Pengawal Kapolri Tampar Demokrasi di Semarang: Etik & Pidana Menanti!
Jayantara-News.com, Semarang
Tindakan brutal Ipda Endri Purwa Sefa, anggota Tim Pengamanan Protokoler Kapolri, terhadap jurnalis di Semarang menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendesak Polri agar menjatuhkan sanksi maksimal tanpa kompromi terhadap pelaku kekerasan.
“Kami sangat menyesalkan kejadian ini. Kami minta Polda Jawa Tengah menindak tegas dan proporsional,” tegas anggota Kompolnas, M Choirul Anam, Senin (7/4/2025).
Anam menyatakan keheranannya, bagaimana mungkin pengawal pribadi Kapolri, yang seharusnya menjadi teladan, malah bertindak represif terhadap jurnalis. Padahal, jurnalis merupakan mitra penting dalam membangun institusi Polri yang presisi dan humanis, sebagaimana visi Kapolri sendiri.
“Ini tidak bisa ditoleransi. Media adalah elemen vital dalam negara hukum dan demokrasi. Permintaan maaf pelaku bukan akhir persoalan, justru itu pengakuan atas kesalahan. Maka, dia harus siap menerima konsekuensi penuh,” tandas Anam.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, lebih blak-blakan. Ia menyebut aksi Ipda Endri sebagai bentuk kebodohan dan overacting yang memalukan institusi.
“Sebagai pengawal pribadi Kapolri, tindakan itu sungguh keterlaluan. Seharusnya dia paham kerja-kerja jurnalis. Jangan alergi kamera!” sentil Sugeng.
IPW menegaskan Ipda Endri tidak layak lagi menjabat Walpri, dan mendesak dilakukan pemeriksaan etik dan pidana, termasuk terhadap komandannya yang patut diduga melakukan pembiaran.
“Jangan cuma pelaku, komandannya juga harus diperiksa. Ini pembiaran serius!” tandas Sugeng.
Ipda Endri sendiri akhirnya mendatangi Kantor Berita Antara Jateng untuk meminta maaf kepada korban, Makna Zaezar. Ia didampingi Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto dan tim Mabes Polri. Namun, ekspresi lesunya tak cukup memadamkan bara kemarahan publik.
“Saya pribadi memaafkan, tapi secara institusional harus ada sanksi tegas dari Polri,” ujar Makna, korban kekerasan.
Direktur Pemberitaan Antara, Irfan Junaidi, juga angkat bicara. Ia menilai insiden ini harus menjadi bahan koreksi menyeluruh bagi Polri.
“Permintaan maaf kami apresiasi, tapi Polri harus introspeksi. Jangan biarkan pengawal jadi pemukul,” ujarnya.
Kabid Humas Polda Jateng mengakui kondisi di lapangan krodit, namun menegaskan proses penyelidikan tetap berjalan.
“Permintaan maaf tak menghentikan penyelidikan. Bila terbukti melanggar, sanksi akan diberikan,” tegasnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Aris Mulyawan, menyatakan tindakan tersebut melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pelanggaran terhadap kemerdekaan pers adalah kejahatan terhadap demokrasi.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar insiden. Ini luka dalam demokrasi yang harus disembuhkan dengan keadilan, bukan basa-basi. (Tim)