Kisah Bu Camat dan Cermin Riasnya: Antara Pita Peresmian dan Janji yang Terendam
Cerita Satire: karya Adipati
Namanya Larasati. Camat perempuan pertama di kota kecil yang sedang bersolek menjadi destinasi wisata baru. Parasnya menawan, penampilannya selalu modis, dan akun media sosialnya penuh dengan senyuman dan semangat perubahan. Setidaknya begitu menurut caption yang ia tulis sendiri.
Followersnya naik pesat, terutama setelah pidatonya viral karena dianggap inspiratif. Tapi di balik sorotan kamera, para ASN diam-diam sudah paham satu hal:
Jangan beri ide terlalu pintar, nanti dikira mau saingan.
Setiap rapat, Bu Laras hanya mendengarkan segelintir orang. Bukan karena mereka kompeten, tapi karena mereka piawai dalam pujian:
> “Ibu visioner banget.”
“Baru Ibu yang bisa begini.”
“Kalau bukan Ibu, mana mungkin daerah kita viral?”
Kritik? Pantangan
Seorang staf muda pernah mengusulkan agar anggaran taman kota dialihkan untuk perbaikan puskesmas. Esoknya, ia dimutasi ke bagian arsip di gudang belakang. Jauh dari Wi-Fi dan kopi.
Bu Camat juga aktif di TikTok. Tiap agenda dinas harus ada dokumentasi maksimal.
Tanam pohon? Harus ada drone.
Bagi sembako? Wajib ada footage senyum dan sapaan manja:
> “Hai sayang, Ibu datang bawa cinta…”
Proyek-proyek strategis berjalan lambat, tapi peluncurannya gegap gempita. Yang penting, feed Instagram update.
Wartawan lokal pernah bertanya soal efektivitas program.
Bu Laras menjawab sambil tersenyum ke kamera:
> “Kepercayaan rakyat itu penting. Tapi pujian rakyat? Itu vitamin saya.”
Di balik riasan sempurna dan filter IG, rakyat mulai sadar:
Bu Camat lebih suka komentar netizen daripada saran dari staf teknis.
Awalnya semua terasa seperti drama Korea—penuh pujian dan gaya.
Komentar di akun resminya membanjir:
> “Ibu cantik dan bijaksana!”
“Kami bangga punya pemimpin sepertimu!”
Namun pelan-pelan, cermin itu mulai retak.
Warga bertanya-tanya:
Mengapa jalan desa yang dijanjikan tahun lalu belum juga diperbaiki, padahal pita peresmiannya sudah dua kali dipotong?
Puskesmas semakin padat, tapi alih-alih menambah dokter, Bu Laras justru sibuk membangun taman selfie dengan patung dirinya sedang memberi sambutan.
Dana kampung digital malah habis untuk mural besar bertuliskan:
“Karya Bu Laras untuk Negeri.”
Bagi ASN, istilah “rapat koordinasi” jadi lelucon. Artinya: rapat panjang dengan hasil akhir tetap keputusan tunggal Bu Camat, setelah semua masukan dianggap “kurang sejalan dengan visi beliau.”
Puncaknya? Saat banjir datang.
Warga mengungsi, jembatan putus, bantuan terlambat. Tapi malam itu, akun @laras_camat justru mengunggah video:
Bu Laras berdiri anggun, menyumbangkan satu dus mi instan, lengkap dengan blazer mahal dan heels.
Caption-nya:
> “Bersama rakyat, Ibu hadir. Karena kehadiran adalah cinta.”
Komentar mulai berubah:
> “Cinta nggak bisa dikunyah, Bu.”
“Kapan turun ke lapangan tanpa kamera?”
“Bu, itu mi instan atau pencitraan instan?”
Media lokal mulai menyorot. LSM bicara soal pemborosan anggaran. Rakyat lelah. Di forum-forum, nama Bu Laras tak lagi disandingkan dengan respek.
Tapi Bu Camat tetap percaya satu hal:
> “Ini hanya ujian dari haters. Selama aku tampil baik dan percaya diri, semuanya akan baik-baik saja.”
Dan setiap pagi, ia kembali bercermin.
Merapikan blazer, mengulas senyum kecil, lalu berkata pada bayangannya:
> “Tak perlu staf pintar… cukup cermin yang selalu memuji.”
Tamat..!
Cerita ini hanyalah fiktif. Jika ada kesamaan nama, jabatan, atau kejadian, itu hanyalah kebetulan semata.