Di Atas Derita Pemilik Lahan, Istana IKN Berdiri, Ketum PPWI: “Barbar! Rakyat Teriak, Negara Bungkam!”
Jayantara-News.com, Jakarta
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, kembali menggemakan peringatan keras kepada Pemerintah Republik Indonesia terkait proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang hingga kini masih menyisakan luka di tengah masyarakat adat. Pasalnya, penggunaan lahan milik rakyat untuk kepentingan negara dinilai tak ubahnya seperti perampasan, karena hingga saat ini belum ada sepeser pun ganti rugi yang dibayarkan kepada pemilik lahan sah.
Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu dengan tegas menyampaikan bahwa Pemerintah jangan sampai menanam bara konflik yang kelak akan membakar bangsa ini dari dalam.
“Saya sangat berharap Pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan strategis. Pembangunan IKN harus dirancang dengan akal sehat, bukan kesewenang-wenangan. Jangan sampai kita memanen bencana sosial di kemudian hari karena hari ini sembrono menginjak hak-hak masyarakat adat,” kata Wilson Lalengke, Kamis, 10 April 2025.
Ia menegaskan, penyelesaian pembayaran atas tanah bekas Kedatuan Kutai Kartanegara yang dipakai untuk membangun istana negara dan fasilitas IKN adalah harga mati. Tanpa itu, status kepemilikan lahan menjadi abu-abu dan menimbulkan potensi gugatan hukum di masa depan.
“Kalau ini terus dibiarkan, negara tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tapi juga berpotensi digugat secara hukum—baik perdata maupun pidana. Jangan-jangan negara sedang mengajarkan rakyat bagaimana cara melawan negara secara hukum,” tegas Wilson, yang merupakan lulusan pascasarjana Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda dan Universitas Linkoping, Swedia.
Negara Barbar, Pemerintah Gunakan Hukum Rimba
Pernyataan pedas juga datang dari Penasehat Hukum PPWI, Advokat Dolfie Rompas, S.Sos., S.H., M.H. Ia menilai langkah Pemerintah dalam menggarap proyek IKN di atas tanah warga tanpa penyelesaian hukum sebagai tindakan barbar, dan mencerminkan tata kelola negara yang mengedepankan hukum rimba.
“Ini sangat disayangkan. Pemerintah seharusnya menjadi contoh ketaatan terhadap hukum. Jangan karena punya kuasa, lalu seenaknya mengangkangi aturan. Tanah milik rakyat diambil begitu saja, seolah-olah negara adalah tuan atas segalanya. Ini bukan negara hukum, tapi negara preman jika dibiarkan,” kecam Dolfie Rompas, praktisi hukum asal Manado.
Dolfie melanjutkan, penggunaan tanah rakyat yang belum dilepaskan secara sah merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap konstitusi dan keadilan sosial. Ia menegaskan, jika pemerintah bersikeras melanjutkan pembangunan tanpa menyelesaikan masalah dasar ini, maka negara sedang memberi contoh buruk kepada rakyat: siapa kuat, dia menang.
Tuntutan Ahli Waris dan Desakan Moratorium
Sebagai pihak kuasa pendamping ahli waris lahan IKN, PPWI mendesak Pemerintah segera menyelesaikan konflik agraria ini sebelum menjadi bara api sosial yang tak terpadamkan. Wilson Lalengke secara khusus menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah cepat dan tegas.
“Atas nama masyarakat pemilik tanah di kawasan IKN, kami memohon kepada Presiden untuk menghentikan sementara pembangunan IKN hingga masalah ganti rugi diselesaikan. Jangan biarkan proyek besar ini berubah menjadi batu sandungan dan noda sejarah bangsa,” tegas Wilson.
PPWI sebelumnya menerima pengaduan dari ahli waris lahan, atas nama Lisa Anggaini dan rekan-rekannya, yang merasa hak mereka dirampas. Mereka meminta bantuan PPWI untuk memperjuangkan keadilan dan memaksa negara menyelesaikan kewajibannya.
“Jika tidak diselesaikan segera, ini bisa menjadi bom waktu. Jangan sampai proyek IKN dikenang bukan sebagai kebanggaan, melainkan simbol ketidakadilan dan perampasan hak rakyat oleh pemerintah sendiri,” pungkas Wilson Lalengke. (APL/Red)