Ketika Pensiun Bukan Akhir, Tapi Awal dari Ruwetnya Politik dan Piutang Para Eks Pejabat
Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Jayantara-News.com, Bandung
Dalam bayangan publik, pensiun bagi seorang pejabat negara semestinya menjadi gerbang menuju ketenangan. Masa transisi dari hingar-bingar kekuasaan ke kehidupan yang lebih sederhana, lebih reflektif. Seorang pensiunan menteri, ASN, bahkan presiden, idealnya menjadi sosok negarawan yang menjauh dari hiruk-pikuk politik, menjadi guru bangsa yang menabur hikmah, bukan menabur intrik.
Namun realitas sosial politik di negeri ini sering kali bicara lain. Alih-alih menyepi dengan damai, sejumlah pensiunan pejabat justru masih haus akan panggung. Mereka kembali hadir, bukan sebagai penasihat moral, tetapi sebagai aktor utama dalam drama kekuasaan. Ada yang masuk ke partai politik, membentuk kelompok bayangan, mengatur strategi pilkada, bahkan sibuk mengamankan “aset politik” dan menyelesaikan urusan pribadi yang belum tuntas, termasuk masalah piutang.
Ya, piutang. Sesuatu yang mestinya bersifat privat, namun bisa menjadi urusan publik ketika melibatkan nama besar mantan pejabat. Dari sengketa utang yang menggantung hingga perebutan aset bisnis yang tercampur dengan kuasa masa lalu, semua menyeret nama-nama yang dulu dielu-elukan. Di titik ini, publik pun mulai bertanya: benarkah pengabdian mereka dahulu murni demi rakyat, atau sekadar strategi menumpuk pengaruh dan kepentingan?
Pensiun seharusnya menjadi titik temu antara kehormatan dan ketulusan. Namun kini, kehormatan itu digadaikan demi ambisi yang belum tuntas. Ketulusan seolah berubah menjadi kalkulasi. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang justru menciptakan kegaduhan baru, membuat kisruh politik lokal hingga nasional, memanfaatkan jejaring kekuasaan lama demi melanggengkan kepentingan diri dan kroninya.
Jika ini terus dibiarkan, negeri ini akan menjadi panggung sirkus kekuasaan yang tak pernah mengenal akhir pertunjukan. Regenerasi kepemimpinan mandek, karena bayang-bayang para pensiunan masih mengendalikan panggung. Publik dibiarkan menjadi penonton dari sandiwara panjang yang tak kunjung usai.
Maka saatnya publik bersuara: bahwa pensiun bukanlah kesempatan kedua untuk berkuasa, melainkan momen untuk menunjukkan kedewasaan, keteladanan, dan integritas. Jangan jadikan status “purna tugas” sebagai tameng untuk manuver politik dan skandal finansial. Karena jika tak bisa memberi keteladanan di masa pensiun, maka segala prestasi di masa jabatan hanya akan tercatat sebagai bagian dari ironi sejarah. (Red)