Memalukan! Oknum Pengacara di Lampung Timur Jadi Jubir Dewan Pers: Bela Tambang, Bungkam Warga
Jayantara-News.com, Jakarta
Tindakan seorang oknum pengacara bernama Murtadho, S.H., dari Kantor Hukum LAW FIRM RDE Advokat & Partner, telah mencoreng marwah profesi advokat. Bukannya membela kepentingan rakyat kecil atau menjunjung tinggi hukum positif, pengacara yang satu ini justru terkesan menjelma sebagai ‘eksekutor lapangan’ bagi rekomendasi Dewan Pers, lembaga partikelir yang belakangan kerap disebut-sebut lebih sibuk mengamankan citra ketimbang membela kepentingan pers bebas dan independen.
Dalam sebuah perkara sederhana, yakni penayangan video di media sosial Tiktok, pengacara Murtadho memilih jalur yang aneh: meminta penilaian dari Dewan Pers, lembaga yang tidak memiliki otoritas hukum dalam menilai konten warga di platform medsos. Bukankah ini bentuk kekacauan berpikir yang menggelikan, sekaligus memperlihatkan kegagalan dalam memahami batas kewenangan antar lembaga?
Video yang dimaksud diunggah oleh seorang warga Bandar Lampung bernama Sugiarto. Tayangan tersebut memuat informasi tentang dugaan aktivitas tambang pasir silika ilegal oleh PT. Nanda Jaya Silika di Desa Sukorahayu, Lampung Timur. Video itu juga menampilkan keluhan warga sekitar yang terdampak, mulai dari rusaknya akses jalan, hingga kerusakan lingkungan yang diduga diakibatkan penambangan tersebut.
Tonton video:
Tambang Pasir Siluman di Lampung Timur
Alih-alih mengarahkan kliennya untuk menempuh jalur hukum sesuai ketentuan perundang-undangan, Murtadho malah menyurati Dewan Pers dan mengacu pada ‘fatwa’ lembaga tersebut, seolah-olah ia seorang juru bicara resmi dari lembaga yang tidak memiliki legitimasi dalam ranah media sosial.
Yang lebih parah, Dewan Pers dengan percaya diri membuat “penilaian” terhadap konten di Tiktok, sebuah platform yang secara legal bukan objek pengawasan mereka. Mereka mengeluarkan tujuh poin penilaian, termasuk mencantumkan status media dan sertifikasi wartawan Sugiarto.
Lantas, sejak kapan UU Pers berlaku untuk konten pribadi warga di media sosial? Dan lebih konyol lagi, sejak kapan seorang pengacara bisa memaksakan warga untuk tunduk pada regulasi yang bahkan tidak punya kekuatan hukum tetap?
“Ini jelas kekacauan logika luar biasa. Dewan Pers bukan regulator medsos. Mereka tidak punya kewenangan legal menilai atau memberi rekomendasi atas konten warga. Tapi anehnya, Murtadho malah menjadikan rekomendasi itu sebagai dasar somasi kepada warga,” kata Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI, Sabtu (10/5/2025), saat menerima pengaduan Sugiarto terkait somasi tersebut.
Dalam surat somasi yang dilayangkan, Murtadho bahkan mendesak agar akun Tiktok milik Sugiarto diverifikasi oleh Dewan Pers dan agar ia memiliki sertifikasi wartawan utama. Sebuah tuntutan yang sangat absurd.
“Saya benar-benar tak habis pikir, ada pengacara gagal nalar seperti Murtadho. Saya coba hubungi dia berkali-kali untuk konfirmasi, tapi dia tidak pernah angkat. Pecundang sejati!” pungkas Wilson dengan nada geram.
Rilis ini tidak hanya menjadi peringatan bagi publik agar mewaspadai ‘advokat tempe’ semacam ini, tetapi juga menjadi cermin buruknya pemahaman sebagian kalangan hukum terhadap batas-batas kewenangan lembaga dalam negara hukum. (APL/Red)