Kemerdekaan Pers Dihambat di Ruang Sidang: Hati-Hati, Ada Sanksi Pidananya!
Jayantara-News.com, Sorong
Praktik pelarangan terhadap wartawan yang hendak melakukan peliputan di lingkungan pengadilan masih terus terjadi di sejumlah daerah. Padahal, peliputan jurnalistik di ruang sidang merupakan bagian dari upaya menyampaikan informasi kepada publik, terutama dalam mengawal proses penegakan hukum agar berjalan transparan dan akuntabel.
Persoalan ini bukan semata pelanggaran etika, tetapi juga dapat masuk ke ranah pidana, jika terbukti melanggar hak kemerdekaan pers yang dijamin undang-undang.
Salah satu contoh terbaru terjadi pada Selasa, 3 Juni 2025, di Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat Daya. Wilson Lalengke, seorang wartawan senior sekaligus Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), dilarang oleh hakim mediator untuk melakukan peliputan saat proses sidang mediasi berlangsung. Padahal, tidak ada informasi atau penetapan bahwa sidang tersebut bersifat tertutup untuk umum.
Menanggapi hal itu, Wilson menyampaikan pesan tegas kepada seluruh insan pers:
> “Sekadar saran, berdasarkan pengalaman pribadi saat meliput sidang mediasi di PN Sorong pada hari Selasa, 3 Juni 2025, hakim mediasi melarang saya melakukan peliputan. Maka saya menyarankan teman-teman media untuk selalu membawa serta UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Demikian, semoga membantu dan bermanfaat. Tetap semangat!”
UU Pers Menjamin Hak Wartawan
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Adapun pasal-pasal yang sangat relevan dalam konteks pelarangan peliputan sidang, antara lain:
Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 4 ayat (2): Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Pasal 18 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Dengan demikian, pelarangan terhadap wartawan untuk meliput persidangan, selama tidak ada penetapan hukum bahwa sidang bersifat tertutup, dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum yang menghalangi kemerdekaan pers.
Sidang pengadilan yang tidak termasuk kategori perkara tertutup (seperti perkara anak, kesusilaan, atau rahasia negara), seharusnya terbuka untuk umum, termasuk dapat diliput oleh media. Hakim atau pejabat pengadilan tidak bisa secara sepihak melarang kerja jurnalistik tanpa dasar hukum.
Organisasi pers dan lembaga advokasi seperti PPWI misalnya, diimbau untuk memberikan pendampingan hukum terhadap wartawan yang mengalami peristiwa serupa, sekaligus memberikan edukasi kepada aparat peradilan agar lebih menghormati peran dan fungsi pers dalam demokrasi.
Dalam negara hukum yang demokratis, pers adalah pilar keempat yang menjaga transparansi dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk peradilan. Jika kerja jurnalistik dibatasi dengan cara sewenang-wenang, maka publik pun akan kehilangan hak atas informasi yang adil dan faktual.
Pelarangan liputan bukan hanya persoalan teknis, tapi menyangkut hak konstitusional. Karena itu, upaya apa pun yang menghalanginya patut dilawan dengan tegas secara hukum dan moral! (Goes)