Pengamat Nilai Sarasa Institut Tendensius, Bakar Opini dan Provokatif: Pangandaran Tidak Sekarat, Tapi Sedang Berbenah!
Jayantara-News.com, Pangandaran
Narasi “Kabupaten Setengah Sekarat” yang beredar luas di media sosial pasca pernyataan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), kini tengah digoreng secara liar dan sepihak oleh Sarasa Institute, yang membingkai situasi fiskal Kabupaten Pangandaran dalam nada krisis akut. Narasi ini, yang dibumbui dengan tudingan-tudingan serius tanpa dasar audit resmi, akhirnya mendapat tanggapan berimbang dari berbagai kalangan, termasuk para pengamat daerah dan tokoh masyarakat setempat.
Selain itu, kritik keras dari Sarasa Institute, yang menuduh adanya kegagalan sistemik, menyuarakan tudingan korupsi, serta mendesak audit forensik dan intervensi KPK, dinilai oleh sejumlah tokoh lokal sebagai pernyataan yang terlalu tendensius, politis, dan tidak proporsional. Tuduhan tersebut dianggap lebih bersifat provokatif daripada membangun, serta berpotensi memperkeruh upaya perbaikan yang sedang dijalankan pemerintah daerah secara bertahap dan terukur.
Berita sebelumnya, tentang pernyataan Sarasa Institute yang terkesan berlebihan, tendensius dan berpotensi memperkeruh upaya perbaikan, baca di sini: Tata Kelola Keuangan Pangandaran Kritis: Audit Forensik Bukan Pilihan, Tapi Wajib!
Pengamat kebijakan publik yang juga tokoh muda pangandaran, Rohimat Resdiana, menilai bahwa pelabelan Pangandaran sebagai “sekarat” adalah sebuah narasi politis yang dibungkus dengan klaim akademik.
“Yang terjadi di Pangandaran bukanlah kegagalan, tapi tantangan fiskal yang juga dialami banyak daerah lain di Indonesia pasca pandemi dan perubahan transfer dana pusat,” ujar Rohimat dalam rilis resminya, Selasa (10/6/2025).
Menurut Rohimat, keterlambatan pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan dana bagi hasil (DBH) bukan sepenuhnya akibat dari manajemen daerah yang buruk, tetapi juga karena sebelumnya ada bencana tidak terduga yang dinamakan covid-19, akhirnya anggaran banyak digeser untuk kepentingan urgent.
“Masalah TPAPD memang harus segera diselesaikan, tapi menyebutnya sebagai pelanggaran hukum dan indikasi korupsi sebelum ada audit resmi adalah bentuk tuduhan liar.” terangnya.
Pemerintah Kabupaten Pangandaran sendiri telah menjelaskan bahwa pengajuan pinjaman ke Bank BJB merupakan salah satu solusi untuk menjaga stabilitas belanja daerah, dan tidak dilakukan secara sembarangan. Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Pangandaran, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa seluruh proses pinjaman dilakukan sesuai prosedur, transparan, dan dengan pengawasan ketat dari lembaga terkait.
Rohimat juga mempertanyakan motivasi di balik desakan audit forensik oleh Sarasa Institute. “Kalau kita bicara akademik dan kejujuran intelektual, seharusnya tidak buru-buru membentuk opini publik sebelum proses klarifikasi dan audit internal dilakukan. Apalagi laporan BPK sudah memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), bukan tanpa dasar,” tegasnya.
Terkait kritik terhadap opini WDP dari BPK, ia menambahkan, “BPK bukan lembaga sembarangan. Opini WDP diberikan berdasarkan data, bukan tekanan politik atau wacana publik. Justru yang perlu dipertanyakan adalah mengapa kritik terhadap BPK begitu keras tanpa landasan temuan baru.” cetus Rohimat.
Narasi bahwa Pangandaran sedang menuju kebangkrutan juga dibantah keras Rohimat. Dalam siaran pers resminya, disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih mengalami tren kenaikan, terutama dari sektor pariwisata dan retribusi daerah.
“Kami sedang melakukan efisiensi anggaran, menata kembali prioritas belanja, dan meningkatkan pendapatan. Ini bagian dari proses penyehatan fiskal, bukan tanda-tanda sekarat,” ungkapnya.
Pemerintah juga sedang mempercepat upaya proses pembayaran hak-hak desa seperti DBH dan TPAPD. Keterlambatan yang terjadi, menurut pejabat Pemkab, bukan disengaja. Selain itu, tudingan belum dibayarkannya Siltap yang dilontarkan Sarasa Institut adalah statmen sesat. Faktanya, pembayaran bertahap dilakukan.
Rohimat mengajak semua pihak, termasuk lembaga think tank seperti Sarasa Institute, untuk mengambil peran konstruktif, bukan sekadar membakar opini publik dengan narasi krisis.
“Jika memang ada niat menyelamatkan Pangandaran, mari duduk bersama, bukan saling menyudutkan,” tegasnya.
Dalam penutup pernyataannya: Rohimat pun mengimbau kepada Sarasa Institute Pangandaran, untuk bersikap lebih dewasa dan bijak dalam menyikapi persoalan daerah.
“Alangkah baiknya sebagai warga Pangandaran yang cinta terhadap daerah ini, kita bersikap lebih bijak. Kalau punya ide dan gagasan bagus, sampaikanlah langsung kepada bupati. Sejauh ini, Bupati Pangandaran sangat terbuka, mau menerima saran bahkan kritik,” ucapnya.
Ia menekankan, “Jangan menyebarkan opini yang justru memecah persatuan dan kesatuan masyarakat Pangandaran, apalagi yang masih belum sepenuhnya Move On dari ekses Pilkada 2024. Jangan sampai dinamika politik masa lalu terus menghantui semangat pembangunan ke depan.” tandas Rohimat. (Nana JN)