Kejari Teuku Herizal Bongkar Kredit Fiktif BRI Ponorogo: Mantri Ditahan, Dugaan Sindikat Mencuat!
Jayantara-News.com, Ponorogo
Skandal kredit fiktif di tubuh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Pasar Pon, Ponorogo, mulai terkuak. Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo menetapkan satu tersangka dan terus membongkar dugaan keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk potensi sindikat dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) menggunakan data kependudukan palsu.
“Hingga pertengahan Juni 2025, kami telah memeriksa 40 orang saksi dari internal BRI, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), serta masyarakat yang merasa dirugikan,” ungkap Kepala Kejari Ponorogo, Teuku Herizal, Rabu (18/6/2025).
Tersangka yang telah ditahan adalah SPP, mantan mantri BRI Unit Pasar Pon. Ia diduga menyalahgunakan program KUR dengan mencairkan dana kredit menggunakan identitas palsu milik warga.
“Seorang mantri sudah kami tetapkan sebagai tersangka dan saat ini telah kami tahan,” tegas Herizal.
Namun Kejari menegaskan, ini baru permulaan. Proses penyidikan terus berkembang, terutama untuk menelusuri kemungkinan adanya skema kejahatan terorganisir alias sindikat, termasuk dugaan keterlibatan dari jajaran manajemen BRI.
“Tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain. Bila pimpinan terlibat dan bukti cukup, tentu akan kami proses,” tegasnya.
Kejaksaan menduga adanya skema manipulasi data kependudukan secara masif, yang melibatkan puluhan identitas warga untuk memuluskan pencairan kredit fiktif.
“Kita sedang bedah secara detail, siapa berbuat apa, dan seberapa besar dampaknya,” tambah Herizal.
Meski dugaan keterlibatan manajemen mulai menyeruak, pihak kejaksaan tetap menekankan bahwa setiap penetapan tersangka harus melalui alat bukti yang sah.
Kejari Ponorogo juga mengimbau seluruh saksi agar bersikap kooperatif dalam pemeriksaan demi mempercepat proses hukum dan membuka tabir kejahatan ini secara tuntas.
“Kami harap para saksi memenuhi panggilan. Ini demi keadilan dan transparansi hukum,” tutupnya.
Seperti diketahui, penetapan tersangka terhadap SPP dilakukan setelah delapan jam pemeriksaan intensif sebagai saksi, dan dua alat bukti telah dianggap terpenuhi. Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan di tubuh lembaga keuangan pelat merah, serta potensi kejahatan kolektif yang merugikan negara. (Restu)