“Don’t Crack Under Pressure”: Jawaban Atas Nyinyiran Sarasa Institute di Pangandaran
Jayantara-News.com, Pangandaran
Ketika seseorang sedang sakit dan berjuang melawan penderitaan, tentu tidak bijak jika yang dipermasalahkan justru adalah upaya dokter, perawat, atau keluarga yang tengah berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya. Mengeluhkan kekurangan tanpa kontribusi nyata sama saja dengan menambah beban, bukan menawarkan solusi.
Kiasan ini agaknya tepat untuk menggambarkan kritik-kritik tajam yang dilontarkan oleh Sarasa Institute terhadap kondisi Kabupaten Pangandaran, kritik yang dinilai tidak menawarkan alternatif jalan keluar.
Hal ini disampaikan oleh seorang anggota DPRD Pangandaran dari Fraksi PDI-P, Rohimat Resdiana dalam menanggapi tulisan Tedy Yusnanda dari lembaga Sarasa Institute, yang berjudul “DPRD Makhluk Apa Ini?”. Menurutnya, tulisan tersebut tidak mencerminkan kedewasaan dalam memahami sistem ketatanegaraan di Indonesia.
“Judul itu, entah ditujukan sebagai sarkasme atau sinisme, hanya menunjukkan bahwa penulis tidak mampu memilih diksi yang tepat dan mendidik pembacanya,” ujar Rohimat dalam rilis resminya kepada Jayantara-News.com, Sabtu (21/6/2025).
Ia menjelaskan, mempertanyakan DPRD sebagai “makhluk apa” berarti mempertanyakan sistem kenegaraan Indonesia yang sudah diatur dalam konstitusi. Konsep pemisahan kekuasaan (Trias Politika) yang diperkenalkan Montesquieu dan John Locke telah menjadi dasar dalam pembentukan negara Indonesia, dengan pengaturan yang jelas dalam UUD 1945.
“Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang Presiden, Pasal 20 Ayat (1) mengatur bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan Pasal 24 Ayat (1) menjelaskan kekuasaan kehakiman dipegang Mahkamah Agung dan badan peradilan lain,” jelasnya.
Secara lebih teknis, sambung Rohimat, keberadaan DPRD diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 101 dan Pasal 154 dengan jelas mengatur tugas, wewenang, hak, dan kewajiban lembaga ini.
“Jika keberadaannya sah secara konstitusional dan fungsional, lalu mengapa masih dipertanyakan bentuk dan keberadaannya? Kritik boleh, tetapi harus dilakukan dengan cara dan bahasa yang proporsional,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rohimat juga menyoroti narasi dalam tulisan tersebut yang seolah menyebut rakyat Pangandaran dilarang bersuara. Ia menegaskan, hal itu sebagai tuduhan tak berdasar.
“Buktinya, tulisan dari Sarasa Institute itu sendiri bisa tersebar bebas di media sosial. Artinya, ruang berekspresi dan berpendapat tetap terbuka lebar di Pangandaran,” ujarnya.
Bahkan, dalam praktiknya, berbagai elemen masyarakat di Pangandaran tetap leluasa menyampaikan aspirasi, baik melalui audiensi maupun aksi unjuk rasa.
Di akhir pernyataannya, anggota DPRD tersebut mengutip kisah bijak Khalifah Harun Ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah. Dikisahkan, ketika seorang pemuka agama hendak menyampaikan kritik dengan cara yang keras, sang khalifah mengingatkannya:
“Telah datang orang yang lebih baik dari kamu (Nabi Musa) kepada orang yang lebih buruk dari aku (Fir’aun), namun tetap menyampaikan kebenaran dengan adab.”
Kisah itu, menurut Rohimat sangat penting untuk direnungkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
“Kebenaran, walau ditujukan kepada siapa pun, apalagi sesama orang beriman, sepatutnya disampaikan dengan etika dan adab. Bukan dengan cercaan,” katanya.
Dari kisah ini kita belajar, bahkan jika kebenaran itu harus disampaikan, walaupun ditujukan kepada orang yang tidak beriman sekalipun, maka sebagai orang yang beriman kita harus mendahulukan adab. Apalagi jika kebenaran itu disampaikan kepada sesama orang yang beriman.
Alangkah eloknya, jika memang situasi di Pangandaran dinilai kurang baik, semua elemen yang ada bersatu padu dalam menghadapinya melalui kontribusi positif yang riil sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing, serta tidak saling menyalahkan satu-sama lain agar kondisi yang dianggap kurang baik ini segera selesai.
“Terkadang, berbicara memang lebih mudah ketimbang bekerja dan berusaha agar tidak pecah dalam tekanan adalah hal luar biasa yang belum tentu semua orang bisa,” pungkas Rohimat. (Nana JN)