Saatnya Pangandaran Membuka Telinga: Kritik adalah Tanda Cinta
Oleh: Heru Ismu Kuntadi, ST
(Pemerhati Sosial & Demokrasi)
Jayantara-News.com, Pangandaran
Pangandaran adalah mutiara di selatan Jawa Barat. Alamnya memukau, masyarakatnya ramah, dan potensinya begitu besar. Namun di balik pesona itu, tersimpan banyak persoalan yang perlu ditata ulang, disorot, bahkan dikritisi secara serius demi kebaikan bersama.
Perlu disadari, kritik bukanlah tanda kebencian. Justru kritik adalah wujud kepedulian. Dalam kondisi seperti sekarang, ketika pembangunan tampak timpang, tata ruang terlihat semrawut, dan keputusan publik seringkali diambil tanpa partisipasi rakyat, Pangandaran memerlukan suara-suara yang berani mengingatkan.
Lihat bagaimana ruang publik perlahan tergerus untuk kepentingan investasi besar, sementara pedagang kecil makin tersingkir. Akses ke pantai, yang dulunya terbuka bagi semua, kini seakan terpetak hanya untuk segelintir elit. Persoalan sampah, kemacetan, hingga konflik kepentingan pun muncul sebagai bayang-bayang di balik geliat pariwisata.
Di pelosok desa, nasib petani pun tak kunjung menjadi prioritas. Mereka tetap berjibaku menghadapi harga hasil tani yang fluktuatif, akses pasar yang terbatas, dan perlindungan yang hampir tak terasa. Sementara di meja-meja pemerintahan, rapat demi rapat seringkali tak melahirkan solusi nyata.
Kritik terhadap kebijakan, gaya kepemimpinan, maupun arah pembangunan mestinya dipandang sebagai vitamin bagi demokrasi, bukan ancaman yang harus ditakuti atau dihindari. Dengan kritik yang sehat, Pangandaran bisa tumbuh menjadi daerah yang adil, maju, dan berkelanjutan.
Pangandaran jangan hanya indah bagi wisatawan, tapi juga harus ramah bagi warganya sendiri. Jangan hanya dibangun demi menarik turis, tapi juga harus ditata dengan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya.
Mari kita biasakan menyampaikan kritik dengan niat baik. Dan lebih penting lagi, mari kita biasakan mendengar kritik dengan hati terbuka. Ingat, Pangandaran yang kuat lahir dari rakyat yang berani bersuara, bukan dari rakyat yang bungkam. Sebab ketika kritik dibungkam, yang lahir bukanlah kedamaian, melainkan kebisuan yang perlahan membusuk. Ketika suara-suara kecil diabaikan, yang tercipta bukanlah stabilitas, tapi jurang ketimpangan yang makin lebar.
Anak-anak muda Pangandaran harus berani tampil sebagai agen perubahan. Jangan hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Jadilah penggerak, dan bila perlu, jadilah “duri” yang menyadarkan kekuasaan ketika mulai abai terhadap rakyat, duri yang mengingatkan, bukan melukai.
Para pemimpin daerah juga semestinya belajar lebih rendah hati: lebih banyak mendengar, lebih sedikit berbicara, dan lebih nyata bekerja. Pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling lantang berjanji, melainkan siapa yang sungguh-sungguh mengabdi.
Pangandaran tak seharusnya hanya menjadi cerita manis di brosur wisata. Ia harus menjadi tanah yang membuat rakyatnya merasa memiliki, didengar, dan dihargai. Insya Allah…” (Red)