Membongkar Mitos Penjajahan: Benarkah Kesultanan Nusantara Dijajah Belanda?
Jayantara-News.com, Nasional
Selama lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia dicekoki narasi tunggal bahwa wilayah Nusantara dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Narasi ini tertanam dalam buku pelajaran, pidato kenegaraan, hingga dokumen resmi negara. Namun, seiring tumbuhnya kesadaran sejarah dan terbukanya akses terhadap dokumen-dokumen lama, muncul pertanyaan penting: apakah benar Kesultanan Nusantara dijajah sepenuhnya?
Fakta Historis yang Layak Dipertanyakan
Jika benar dijajah, mengapa Kesultanan Nusantara masih tercatat memiliki aset kolateral dalam bentuk emas, tanah, dan saham internasional hingga tahun 1945? Bahkan beberapa pihak menyatakan, aset-aset itu masih terdaftar secara sah dalam sistem keuangan global hingga saat ini.
Jika benar dijajah, bagaimana mungkin Kesultanan Aceh mampu menyumbangkan emas untuk Monas dan pesawat Dakota RI-001 Seulawah pada masa awal kemerdekaan?
Jika benar dijajah, mengapa Kesultanan Sriwijaya memiliki jaringan ekspor minyak sereh terbesar di dunia, dan tetap eksis hingga awal abad ke-20?
Jika benar dijajah, mengapa pada tahun 1900-an Batavia sudah memiliki sistem trem, penerangan jalan, dan tata kota modern seperti kota-kota di Eropa?
Profesor Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce (1993), menjelaskan bahwa pada abad ke-16 hingga awal abad ke-18, kawasan Nusantara merupakan pemain aktif dalam perdagangan internasional, bukan sekadar wilayah yang pasif dijajah. “Kesultanan-kesultanan besar seperti Aceh, Banten, Gowa, dan Mataram memiliki kontrol dan kedaulatan politik serta ekonomi yang kuat,” tulis Reid.
Perlawanan Tak Pernah Padam
Kehadiran Belanda di Nusantara tidak langsung dalam bentuk negara, melainkan lewat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang raksasa asal Belanda. Seiring waktu, VOC berubah dari pedagang menjadi penguasa yang memanipulasi konflik antar kerajaan untuk meraih kekuasaan.
Namun perlawanan pun muncul. Dari Laksamana Malahayati di Aceh (abad ke-16) hingga Pangeran Antasari di Kalimantan, dari Sultan Hasanuddin di Gowa hingga Pangeran Diponegoro di Jawa. Mereka bukan pemberontak, tetapi pemimpin sah yang mempertahankan kedaulatan.
Sejarawan Indonesia, Ong Hok Ham, pernah menyatakan:
> “Penjajahan Belanda bukanlah sebuah kekuasaan mutlak dari awal. Ia adalah hasil dari negosiasi, persekongkolan, perlawanan, dan kadang pengkhianatan.”
(Kompas, 1999)
Sejarah yang Perlu Ditulis Ulang
Apa yang kita pahami hari ini sebagai “penjajahan” sejatinya adalah proses dominasi bertahap: ekonomi → politik → budaya. Itu pun tidak merata di seluruh wilayah Nusantara, tidak pada waktu yang bersamaan, dan tidak selalu berhasil total.
Narasi sejarah resmi seolah menenggelamkan fakta bahwa banyak wilayah tetap otonom secara ekonomi, budaya, dan bahkan militer hingga akhir abad ke-19. Bahkan, dalam beberapa catatan internasional seperti Treaty of London (1824), Belanda dan Inggris saling mengakui kekuasaan lokal sebagai entitas politik yang sah untuk dinegosiasikan.
Pandangan Islam: Penjajahan dan Kedaulatan
Dalam Islam, kedaulatan adalah amanah. Ketika para raja dan sultan masih memegang kendali atas rakyat dan hartanya, maka mereka adalah ulil amri yang sah. Al-Qur’an menegaskan:
> “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa: 59)
Sementara itu, Islam melarang keras pengakuan palsu terhadap sejarah atau kehormatan suatu kaum:
> “Sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan di tengah-tengah orang beriman, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 19)
Dengan demikian, memutarbalikkan sejarah, mengklaim seolah seluruh Nusantara ditaklukkan sepenuhnya, tanpa menyisakan otonomi lokal, adalah bentuk pengingkaran terhadap fakta dan pelanggaran terhadap etika keilmuan, bahkan dalam pandangan agama.
Mari Menyusun Ulang Sejarah Kita
Sudah saatnya bangsa Indonesia meninjau kembali narasi sejarah yang selama ini diterima secara pasif. Bukan untuk membenarkan kolonialisme, tetapi untuk menghormati peran para Sultan Nusantara yang turut menopang peradaban dan kemerdekaan bangsa. Mereka bukan pengkhianat, bukan pelengkap buku sejarah, mereka adalah tulang punggung perlawanan yang terlupakan.
> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya, bukan hanya dari apa yang ditulis oleh penjajah, tapi juga dari apa yang diwariskan oleh para pemilik sah negeri ini.”
Penulis: Lilis N.