Bupati & Bapenda Pangandaran Kunker ke Bali Saat ASN Menjerit Tak Terima TPP
Jayantara-News.com, Pangandaran
Di tengah jeritan aparatur sipil negara (ASN) yang tunjangannya tak kunjung cair selama lima bulan terakhir, Pemerintah Kabupaten Pangandaran justru menunjukkan ironi yang memantik kemarahan publik. Saat kas daerah dikabarkan defisit, rombongan pejabat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan bahkan Bupati Pangandaran Hj. Citra Pitriyami, S.H., melakukan kunjungan kerja ke Bali dengan dalih studi banding.
Simak cuplikan video perjalanan ke Bali di kanal YouTube berikut ini:
https://youtube.com/shorts/F1Wi1LkNerA?si=ffJmY8etWC27kbgI
Kunjungan tersebut dilakukan pada 30–31 Juli 2025, dengan dua tujuan utama: Bapenda Kabupaten Badung dan Pemerintah Kabupaten Gianyar. Rombongan pertama dipimpin langsung oleh Kepala Bapenda Pangandaran Sarlan, S.IP., sementara rombongan kedua secara mengejutkan ikut melibatkan Bupati Pangandaran sendiri.
Secara resmi, kunjungan ini diklaim untuk mempelajari strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penerapan digitalisasi pajak, serta optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah. Tapi publik justru mempertanyakan urgensi dan kepekaan para pejabat terhadap krisis internal di tubuh Pemda sendiri.
> “Ironis. ASN belum dibayar haknya, tapi pejabatnya plesiran ke Bali. Uang siapa yang dipakai? Efektivitasnya apa?” kritik salah satu sumber internal Pemda yang enggan disebutkan namanya.
Lebih jauh, fakta di lapangan menyingkap dugaan keterkaitan antara kegiatan studi banding Bapenda Pangandaran ke Bali dengan agenda politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Menurut sumber terpercaya, pada waktu yang hampir bersamaan sedang berlangsung kongres, agenda internal PDI-P di Bali, partai berlambang banteng tersebut.
Menariknya, seluruh fraksi PDI-P Pangandaran turut serta berangkat ke Bali, termasuk mantan Bupati Jeje Wiradinata, yang juga kader senior PDI-P. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah keberangkatan mereka dibiayai oleh partai, atau justru menggunakan anggaran daerah atas nama studi banding?
Mengapa kegiatan pemerintahan beririsan dengan agenda partai?
Dan apakah ini bentuk penyamaran perjalanan dinas yang sebenarnya bermuatan politis?
Jika benar biaya berasal dari APBD, maka potensi penyalahgunaan wewenang dan anggaran publik bisa jadi masuk kategori pelanggaran etik dan hukum.
Di sisi lain, publik saat ini masih menanti kejelasan:
Berapa total biaya perjalanan dinas ke Bali?
Siapa saja yang ikut dalam rombongan?
Apa hasil konkret dari studi banding tersebut, selain dokumentasi media sosial?
Banyak pihak berharap Bupati Pangandaran dan jajaran Bapenda segera membuka data anggaran secara transparan dan akuntabel, bukan malah menghindar dari sorotan publik.
Karena bila tidak, maka isu ini bisa menjadi preseden buruk dan menambah daftar panjang praktik yang melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. (Tim JN)