Kebebasan Setya Novanto: Ironi Hukum dan Omon-Omon Pemberantasan Korupsi
Jayantara-News.com, Jakarta
Kepulangan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, ke rumah pada 16 Agustus 2025 setelah mendapatkan pembebasan bersyarat, dinilai sebagai kado pahit bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penilaian itu disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. Menurutnya, momen ini menjadi ironi tajam yang bertentangan dengan janji-janji Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas korupsi.
“Janji Presiden terasa hambar ketika dunia penegakan hukum kita justru bermain-main dengan hukuman bagi pelaku yang sudah divonis,” ujar Lucius.
Ia menilai, retorika berapi-api Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan yang berjanji mengejar koruptor, bahkan dari kalangan elite sekalipun, kini terdengar kosong dengan adanya pembebasan bersyarat bagi Setya Novanto.
Lucius menyebut kebebasan Novanto sebagai “suguhan tak lucu” di tengah perayaan HUT ke-80 RI. Pasalnya, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu sebelumnya divonis 12,5 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek e-KTP, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
“Kita pun makin sadar, bahwa omongan paling berani soal pemberantasan korupsi bisa jadi hanya tinggal omon-omon saja,” tegas Lucius.
Menurutnya, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat kepada koruptor hanya akan menghilangkan efek jera. “Dengan pembebasan bersyarat Novanto ini, jalan menuju pembebasan bangsa dari korupsi justru makin jauh,” imbuhnya.
Lucius juga mengingatkan bahwa sikap lunak ini berpotensi membuat politisi tidak jera, bahkan semakin berani melakukan korupsi.
Setya Novanto memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa tahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) menjelaskan, pembebasan diberikan karena Novanto dinilai berkelakuan baik serta telah melunasi kewajibannya berupa denda Rp500 juta dan uang pengganti sebesar US$7,3 juta.
“Sesuai dengan putusan pengadilan, kami hanya melaksanakan keputusan tersebut,” jelas Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti.
Meski demikian, hak politik Novanto untuk menduduki jabatan publik masih dicabut selama dua tahun enam bulan. Pencabutan tersebut baru berlaku setelah ia bebas murni pada 2029 mendatang. Hingga saat itu, ia masih wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan, dengan risiko pembebasan bersyaratnya dicabut jika melanggar aturan.
Namun, bagi kritikus seperti Lucius Karus, kebijakan ini tetap mencerminkan adanya “kemurahan hati” yang seolah tak pernah berhenti diberikan kepada para koruptor. Kondisi ini, menurutnya, membuat jargon pemberantasan korupsi tidak lebih dari retorika politik belaka. (Goes)